2/01/2013

WHITE COLLAR CRIME DANA BLBI


Analisa  dan Solusi  penyalah gunaan  dana BLBI  sebagai bentuk kejahatan hukum bisnis kerah putih  ( White collar crime) di Indonesia
                                      
Oleh M. Rizal Alif, SH MH *)

A. Pendahuluan

Kejahatan bisnis perbankan Bantuan Likuiditas Bank IndoneSia (BLBI) dilakukan ketika uang bantuan BLBI  tersebut umumnya bukannya digunakan untuk menyehatkan manajemen dan kinerja perbankan nasional, melainkan telah disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank, sehingga merebaklah kejahatan bisnis perbankan penyalah­gunaan dana BLBI yang diarahkan ke tindak pidana korupsi – memperkaya diri sendiri / kelompoknya dengan merugikan keuangan negara dan hak-hak sosial masyarakat  (Pasal  1, 2,3 dan 4 UU No. 31  tahun 1999 tentang  Tindak Pidana Korupsi  Jo perubahannya UU No. 20 tahun2001 )  atau setidak‑tidaknya penggelapan  (Pasal 327 KUHPidana) dan perbuatan melanggar hukum   (pasal 1365 KUH Perdata).

Kejahatan bisnis BLBI ini melibatkan uang dengan jumlah yang tidak tanggung‑tanggung yaitu triliunan rupiah, dan sebagai pemilik bank yang telah menjarah uang milik negara/rakyat  “tak berdosa” tersebut melarikan diri ke luar negeri,  ada yang  sakit dan bahkan sudah meninggal di luar negeri, sementara uangnya tetap raib. Tidak heran jika banyak orang menyebut‑sebut bahwa BLBI merupakan kejahatan  hukum bisnis terbesar di abad ke‑20.

          Dana yang disalahgunakan itu tidak tanggung-tanggung, yaitu sampai  Rp 138.000.000.000.000,0 (seratus tiga puluh delapan triliun rupiah), berdasarkan hasil audit BPK  yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut  ( Munir fuady: 106;2004):
 :
  1. Ada yang oleh bank penerima BLBI menggunakan dana BLBI tersebut untuk keperluan membeli devisa dan memindahkan aset ke luar negeri.
  2. Ada membayar pinjaman bawaan kepada kelompoknya.
  3. Memberikan pinjaman baru.
  4. Membawanya kepasar uang.
  5. Membiayai operasional bank.

Jumlah BLBI yang jatuh kepada pemiliknya atau kelompoknya sendiri adalah sebagai berikut :
  1. Di Bank Central Asia (BCA), sebesar 60 % (enam puluh persen)
  2. Di Bank Danamon, sebsar 60 % (enam puluh persen)
  3. Di Bank Umum Nasional (BUN), sebesar 78 % (tujuh puluh delapan persen)
  4. Di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebesar 91 % (sembilan puluh satu persen).

Dana BLBI sejumlah Rp 145.000.000.000.000,00 (seratus empat puluh lima triliun rupiah) tersebut diberikan kepada 48 (empat puluh delapan) bank swasta nasional tetapi porsi yang paling banyak diterima oleh :
  1. BCA, milik Liem Sioe Liong.
  2. Bank Danamon, milik Usman Admadjaja.
  3. Bank Umum Nasional, Milik Bob Hasan.
  4. BDNI, milik Syamsul Nursalim
Kepemilikan keempat Bank tersebut di atas sangat terkait dengan keluarga Presiden yang berkuasa saat itu (mantan Presiden Soeharto).

Tabel  A.  Daftar Nama-nama bank Penerima BLBI
No
Bank
Jumlah
BLBI
%
Penanggung
Jawab

1
Bank Dagang Nasional Indonesia
37.039,76
25,63
Sjamsul Nursalim

2
Bank Central Asia
26.596,28
18,40
Sudono Salim

3
Bank Danamon
23.118,38
15,99
Usman Atmadjaja

4
Bank Umum Nasional
12.057,95
8,35
Mohamad Hasan,
Kaharudin Ongko

5
Bank Indonesia Raya
4.018,24
2,78
Atang Latief

6
Bank Harapan Sentosa
3.866,18
2,67
Hendra Raharja

7
Bank Nusa Nasional
3.020,32
2,09
-

8
Bank Tiara Asia
2.99,24
2,01
-

9
Bank Modern
2.557,69
1,77
Samadikun Hartono

10
Bank Pesona (d/h Bank Utama)
2.334,89
1,62
Sigit Harjojudanto

11
Bank Pacific
2.133,37
1,48
Hendrik Wilem T.

12
Bank Asia Pacific
2.054,97
1,42
Yhomas Suyatno

13
Bank PDFCI
1.995,00
1,38
-

14
Bank Pelita
1.989,83
1,38
Hashim S. Djojohadikusumo

15
Bank PSP
1.938,95
1,34
Slamet S. Gondokusumo

16
Sejahtera Bank Umum
1.687,35
1,17
Hasudungan Tampubolon

17
Bank Surya
1.653,75
1,14
H. Sudwikatmono

18
Bank Central Dagang
1.403,49
0,97
Sam Handojo

19
Bank Papan
928,91
0,64
Hashim S. Djojohadikusumo

20
Bank Picorinvest
917,85
0,64
Deddy Nurjaman

21
South East Asia Bank
899,40
0,62
Tidjan Ananto

22
Bank Subentra
860,85
0,60
Benny Suherman

23
Bank Pinaesaan
681,08
0,47
HR. Rembert

24
Bank Sewu
642,25
0,44
Dasuki Angkosubroto

25
Bank Centris
629,63
0,44
Hubertus Setyawan

26
Bank Dewa Rutji
609,41
0,42
Rudolf Kasenda

27
Bank Asia raya
578,92
0,40
Henry Liem

28
Bank Istimarat
520,23
0,36
Hashim S. Djojohadikusumo

29
Bank Industri
511,47
0,35
Hashim S. Djojohadikusumo

30
Bank Dagang Industri
481,55
0,33
Prof. DR. H. Sukamdani S.G.

31
Bank Intan
401,55
0,28
Fadel Muhammad

32
Bank Umum Servitia
361,98
0,25
Rijanto Sastroatmojo

33
Bank Mataram Dhanaarta
336,76
0,23
Sri Sultan HB X

34
Bank Aken
301,32
0,21
Indra Haryono SE.

35
Bank Guna Internasional
251,06
0,17
Letjend TNI (Purn) Sutopo Y.

36
Bank UPPINDO
242,95
0,17
Miranda S. Gultom

37
Bank Lautan Berlian
240,82
0,17
Ulung Bursa

38
Bank Tata Internasional
221,28
0,15
Ny. Susilawati Wijaya NG

39
Bank Hokindo
214,23
0,15
Hokianto

40
Bank Jakarta
210,99
0,15
H. Probosutedjo

41
Bank Anrico
210,08
0,15
Prof. Harun Alrasjid Zain

42
Bank Kosagraha Semesta
201,81
0,14
Setiawan Chandra

43
Bank Citrahasta Manunggal
201,80
0,14
Suyoso Sukarno

44
Bank Danahutama
184,82
0,13
Sofjan Wanandi

45
Bank Deka
152,91
0,11
Dewanto Kurniawan

46
Bank Dwipa Semesta
110,11
0,08
Dr. Yoga Sugomo

47
Bank Baja Internasional
35,77
0,02
Riyanto

No
Bank
Jumlah
BLBI
%
Penanggung
Jawab





48
Bank Umum Majapahit Jaya
8,55
0,01
Roy E. Tirtadji
49
Bank Kharisma
-
-
-
50
Bank Indoncitra
-
-
-
51
Bank Patriot
-
-
-
52
Bank BTPN
-
-
-
53
Bank Seri Partha
-
-
-
54
Bank Adromeda
-
-
-
Sumber : Tim Humanika, BLBI,Megaskandal Ekonomi Indonesia

Persoalan penyalahgunaan dana BLBI tersebut di atas mulai terkuak manakala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit untuk neraca Bank Indonesia dan menghasilkan opini yang “disclaimer” per 14 Mei 1999, masalah penyalahgunaan penyaluran BLBI tersebut. Sebagai akibat opini disclaimer tersebut, maka DPR meminta BPK untuk melakukan audit investigasi atas BLBI ini, yang akhirnya hasilnya ke luar angka penyalahgunaan sebesar Rp 138.000.000.000.000,00 (seratus tiga puluh delapan triliun rupiah) atau 96 % (sembilan puluh enam persen) dari keseluruhan dana BLBI yang telah dikucurkan bank Indonesia/Pemerintah, yaitu sejumlah 145.000.000.000.000,00 (seratus empat puluh lima triliun rupiah).


 Penyalahgunaan  dana BLBI  tersebut diatas BLBI  merupakan   suatu bentuk tindak pidana ekonomi perbankan/  kejahatan hukum bisins / kejahatan white  Collar Crime.  Istilah White collar crime  pertama kali digunakan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1939 dalam bukunya berjudul “ white collar  criminality” ( Muhamad Djumhana: 452: 2003).  White collar crime adalah kejahatan yang dilakukan rang-orang yang memunyai kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam melakukanpkerjaannya. Menurut definisi kepolisian RI white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan orang-orang dari kalangan sosial ekonomi tinmgkat atas dalam hubungannya dengan kegiatan pekerjaan atau jabatannya.


B. Pengertian white collar crime  dan  BLBI

       White collar crime adalah suatu perbuatan (tidak berbuat) dalam sekelopok kejatahan yang spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak profesional, baik indvidu, organisasi atau sindikat kejahatan atau  oleh badan hukum. Dan tindak pidan perbankan dalam kasus penyalah gunaan   BLBI dikategorikan sebagai  tindak pidana di bidang perbankan / kejahatan kerah putih  (white collar crime). (Munir Fuady: 9: 2004)
                                                     
          
     Sementara  Pengertian BLBI adalah  suatu kebijaksanaan dari pemerintah dan Bank Indonesia,  di mana Bank Indonesia menyuntikan dana kepada bank-bank nasional yang sedang berada dalam kesulitan dana agar bank-bank tersebut dapat membayar kepada para deposannya masing-masing, sehingga dapat dihindari terjadinya kepanikan masyarakat dan gagal bayar dari bank tersebut kepada deposannya itu. Dengan demikian, lewat peluncuran BLBI, pemerintah memberikan jaminan umum (blanket guarantee) kepada masyarakat penyimpan dana bahwa uang simpanannya tidak akan hilang jika terjadi sesuatu atas bank tersebut.Lembaga  blanket guarantee ini diperlukan terutama sebelum adanya  lembaga penjaminan simpanan yang khusus. Oleh karena itu, sekarang ini Pemerintah  cuma menjamin dana  milik masyarakat/  deposan  yang disimpan di Bank  cuma  di bawah Rp 100. 000.000,- (seratus juta rupiah)  ke bawah                 ( tergantung kebijakan perusahaan Bank masing-masing-mekanisme pasar bebas terhadap pelaku pasar disektor bisnis perbankan di era globalisasi bisnis).


C Kejahatan hukum bisnis “White collar crime “ yang dilakukan  para bankir Pemerintah/Swasta  dalam kasus  penyalahgunaan dana  BLBI

Adapun white collar crime    yang dilakukan oleh para bankir milik Pemerintah/Swasta   dalam kasus BLBI tersebut di atas antara lain (Munir Fuady: 110: 2004) :

1.  Ada konspirasi dalam penerbitan BLBI antara para penerbitnya dan pihak penerimanya.
2.        BLBI diberikan kepada pihak yang tidak pantas.
3.        BLBI diarahkan untuk diberikan kepada pihak tertentu.
4.        BLBI diberikan dengan jumlah yang melebihi dari yang sepantasnya.
5.        Penyelesaian masalah perdata  BLBI (release and discahrge /MRNIA), yang dalam hal ini dilakukan dengan mengembalikan seluruh dana BLBI ke­pada pemerintah, tidak menghapuskan ancaman pidana terhadap penerima BLBI.
6.        Penggelembungan (mark up) nilai aset jaminan yang diserahkan kepada pemerintah secara sangat signifikan. Bayangkan, jaminan aset yang dikatakan bernilai  Rp 129.400.000.000.000,00 (seratus dua puluh sembilan triliun empat ratus miliar rupiah), ternyata nilai cessie komersilnya hanya berjumlah Rp 12.300.000.000.000,00 (dua belas triliun tiga ratus miliar rupiah).
7.        Penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI kepada Bank beku Operasi (BBO), Bank take Over (BTO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BKU) dan Bank Dalam Likuidasi (BDL) antara lain dalam bentuk penytimpangan  dalam enyaluran dana talangan rupiah/ valuta asing/ fasiltas diskonto dan surat berharga pasar uang.
8.        Dana BLBI oleh penerimanya telah disalahgunakan untuk tujuan sebagai berikut:
˝       Ada yang oleh bank penerima BLBI menggunakan dana BLBI untuk keperluan membeli devisa dan me­mindahkan asset ke luar negeri.
˝       Ada membayar pinjaman bawaan kepada kelompoknya.
˝       Memberikan pinjaman baru.
˝       Membawanya ke pasar uang.
˝       Membiayai operasional bank.

 Kejahatan hukum  bisnis dalam bentuk white colar crime tersebut di atas  jelas-jelas telah merugikan kepada Pemerintah, Swasta dan  Masyarakat. Misalnya   Defisit APBN,  Ekonomi sektor rill macet menyebabakna banyak terjadi PHK/pengaguran,  Harga-harga barang  kebutuhan poko masyarakat naik sehinga masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah semkin “  terhimpit” ekonominya- gaya hidupnya, presitisenya terpaksa dikurangi,sehingga yang dibutuhkan sekarang prestasi – anggaran berbasis kinerja/ prestasi/performance     ( UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara). Akibat kejhatan bisinsi BLBI tersebut,  bunga obligasi menjadi besar yang harus ditanggung APBN/APBD, yang berakibat kepada besarnya biaya pendidikan, kesehatan, dana perbaikan/pemeliharaan  infrastruktur Jalan (Propinsi, Kab/Kotamdya) yang rusak parah karena dananya tidak mencukupi  dan lain sebagainya.Ini semua merupakan dampak langsung akibat praktek penyalahgunaan BLBI sebagai  suatu kejahatan hukum bisnis  terbesar di Indonesia di abad ke-20 ini.
.

C   Analisa  dan Solusi  penyalah gunaan  dana BLBI  sebagai bentuk kejahatan hukum bisnis kerah putih ( White collar crime) di Indonesia

The best way to rob the bank is to own one. Cara terbaik untuk merampok bank adalah dengan jalan memilikinya. Demikian kata orang‑orang bisnis zaman sekarang. Karena sebagai pemilik bank, apa pun dapat dilakukan­nya, tanpa perlu terlalu memikirkan nasib nasabah, pemerintah, atau stakeholder lainnya. Berdasarkan prinsip seperti ini, maka pemilik bank dapat merampok bank tersebut dengan mengambil uang yang dikucurkan kepadanya oleh Bank Indonesia lewat BLBI.
Oleh karena itu, terdapat niat pemerintah untuk membebaskan para bankir yang melakukan penyalahgunaan dana BLBI tersebut di atas dengan membebaskan mereka dari tuntutan pidana apabila mengembalikan seluruh utang yang timbul dari penyaluran BLBI tersebut. Bahkan pembebasan dari tuntutan pidana korupsi atau penggelapan  dana BLBI tersebut telah ditulis dan ditandatanganinya  oleh pemerintah dengan pihak debitur dalam bentuk Settlement agreement yang disebut dengan Release and Discharge.
Release and discharge  tersebut disebut  dalam Master Settlement and Acqusition Agreement (MSAA), yaitu agreement bagi penerima BLBI dan pelanggar BMPK, yakni Pelanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (untuk perusahaan dalam 1 (satu) group), yang diberikan terhadap debitur yang assetnya mampu menutupi seluruh kewajibannya kepada pemerintah.Sementara debitur yang assetnya tidak mampu menutupi kewajibannya, dipersilahkan menandatangani Master Refinancing and Note Agreement (MRNIA), dimana pihak debitur harus menyerahkan personal guarantee dan menyatakan kesediaanya untuk menyerahkan asset  jika nantinya asset yang sudah diserahkan tersebut tidak mencukupi atau di bawah kewajibannya. Schema pembayaran seperti ini sudah dapat diduga, bahwa penggelembungan ( mark up)  nilai asset sangat merajalela terjadi akan tetapi pemerintah membiarkan saja.
Kemudian setelah beberapa konglomerat berhasil melunasi seluruh utangnya yang terbit dari  pengambilan dana BLBI tersebut, akan tetapi pemerintah saling lempar tanggung jawab. Masalahnya karena pemerintah takut dihujat oleh rakyatnya, yang sangat sentimen terhadap para konglomerat penerima BLBI tersebut. Karena pemberian Release and Discharge secara politis tidak populer dan akan menghadapi hujatan masyarakat, maka masalah ini dibairkan saja mengantung.
Sementara itu, kalangan ahli hukum menyatakan bahwa pembayaran utang yang terbit dari BLBI secara hukum hanya merupakan pembayaran utang secara perdata dan sebagaimana diketahui bahwa sesuai prinsip hukum yang berlaku, penyelesain penyalahgunaan praktek BLBI secara perdata tidak berarti menghapuskan tuntutan pidananya. Prof Ramli Atmasasmita,SH LLM, pakar hukum pidana internasional dari Unpad, Bandung menyatakan  penyalahgunaan dana BLBI merupak tindakan pidana, yaitu masuk kategori pidana penggelapan/ korupsi uang milik negara.Sebaliknya , Prof. Djuhendah Hasan,SH, pakar hukum bisnis, Unpad, Bandung  menyatakan bahwa penyalahgunaan BLBI masuk kategori perbuatan melanggar hukum (on rechmatigedad) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 BW. Misalnya kasus BLBI yang dilakukan oleh Rudi Ramli, Direktur/penanggung jawab  Bank Bali akibat tagihan kreditnya  macetnya kepada Bank Umum Nasional sehingga harus dilakukan melalui cessie yang melibatkan pihak ketiga, PT EGP.
Jadi penerbitan Release and Discharge dalam Settlement agreement dengan pihak debitur itu salah pemerintah sendiri. Untuk itu, pemerintah dan atau pihak yang menandatangani Settlement tersebut dapat pula dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum.
Sebenarnya, dana talangan Bank Indonesia dalam bentuk  BLBI tersebut merupakan hal yang wajar‑wajar saja dilakukan oleh Bank Indonesia selaku the lender of the last resort. Akan tetapi, kemudian yang menjadi malapetaka adalah ketika uang, yang sebenarnya dari pemerintah, yang berarti uang rakyat tersebut di­salahgunakan oleh pemilik bank, yaitu digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik bank, dan setelah itu melarikan diri ke luar negeri, sedangkan banknya tetap saja dibiarkan dalam keadaan sekarat.
Ketika banyak bank mengalami kesulitan likuiditas terutama karena krisis moneter, rush nasabah, ataupun alasan lainnya di sekitar tahun 1998‑2000, banyak sekali dana BLBI yang di­kucurkan kepada bank‑bank.  Dan dana BLBI yang telah dikucurkan tersebut , tidak berarti diberikan oleh pemerintah secara gratis. Akan tetapi, dana tersebut pada prinsipnya harus dikembalikan oleh bank tersebut dengan salah satu atau lebih cara‑cara sebagai ber­ikut:
  1. Diganti dengan uang tunai plus jaminan aset.
  2. Diganti dengan saham bank tersebut (diambil alih).
  3. Jaminan pribadi pemilik bank tersebut.
    Oleh karena itu, dasar hukum penerbitan BLBI  itu cukup kuat dan tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan guna dihormati oleh bankir/pemilik bank yang telah menyalahgunakan dana BLBI milik negara/rakyat tersebut , antara lain : UU No. 13 tahun 1968, yang kemudian diganti dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Sentral, dimana dalam hal ini Bank Indonesia selaku bank Sentral menjadi the lender if the last resort, UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, kepres No. 27 tahun 1998 tentang  Jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank umum, Kepres No. 27 tahun 1998 tentang Pembentukan BPPN dan lain sebagainya.

       Dari sisi juridis, penyaluran dana BLBI bukan merupakan kebijakan baru dan secara mendadakadiciptakan lewat Kepres No. 26 tahun 1998. Kebijakan tersebut justru telah dilakukan jauh hari sebelum terjadinya Krismon Juli 1997 dan memliki landasan hukum Bank Indonesia yang lama, yaitu UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 7 tahun 1992  tentang perbankan sebagimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998   Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 tahun 1998 menyebutkan bahwa  Bank dapat  pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mentasi kesulitanlikuiditas dalam keadaan darurat. Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b UU No. 7 tahun 1992 mengaskan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likiditas yang membahayakan langsung usahanya, Bank Indonesia dapat  mengambil tindakan lainsesuai per undang-undangan yang berlaku. Dan berdasarkan kebijakan penjaminan pemerintah dalam bentuk blanket guarantee ( Kepres  No. 26 tahun 1998) maunpun pinjaman luar negeri Kepres No.120 tahun 1998. 

       Istilah BLBI  diperkenalkan sejak  tangal 15 januari 1998, sebagaimana ditegaskan pemerintah dalam letter of intend kepada IMF yang antara lain menyatakan mengenai pentingnya penyedian bantuan likiditas (liquidity support) BI kepada perbankan selaku   the lender of resort kepada perbanka sebgai salah satu upaya untuk mempertahankan kelangsungan sistim perbankan di Indonesia. Oleh karena itu, lewat Kepres No. 26 tahun 1998, persiden Soeharto waktu mengeluarkan Blanket guarante terhadap Bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas pasca Krismon July 1997  Menurut penulis, akan lebih baik lagi jika  Kepres No. 26 tahun 1998 ini dibaut dalam bentuk PP, sebagi cantolan hukum dari  tentang Bank Sentral dan Perbankan tersebut di atas. Karena instrumen hukum Kepres lebih banyak muatan politisnya dari pada juridisnya.. Semnetara indonesia  bukan negara  berdasarkan  politis atau kekuasan (mach state) karena power/kekuasan trend to corupt  akan tetapi sebagai negara hukum (rech state) dan  negara demokrasi ( dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat) – bukan hanya pro masyarakat berpengahsilan atas/ MBA/ Konglomerat pemilik bank /pengusaha kaya akan tetapi juga rakyat kecil/masyarakat berpengahasilan menengah ke bawah /MBR. yang perlu dilindungi  hak-hak sosialnya secara hukumnya.

       Dengan demikian,  kebijaksanaan bantuan dan jaminan pemerintah dalam bentuk BLBI ( Kepres No. 26 tahun 1998) , yang mempunyai tujuan utamanya untuk menyehatkan manajemen dan kinerja perbankan nasional..Dana talangan Bank Indonesia dalam bentuk  BLBI tersebut merupakan hal yang wajar‑wajar saja dilakukan oleh Bank Indonesia selaku the lender of the last resort. Masalahnya adalah ketika uang, yang sebenarnya dari pemerintah, yang berarti uang rakyat tersebut di­salahgunakan oleh pemilik bank, yaitu digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik bank, dan setelah itu melarikan diri ke luar negeri, sedangkan banknya tetap saja dibiarkan dalam keadaan sekarat. Sehingga  pelanggaraan terhadap peraturan per undang-undangan tentang penerbitan BLBI tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum / pebutan tindak pidana korupsi sebgaimana disampaikan Prof Ramli Atmasasmita,SH LLM  dan Prof Djuhaendah hasan SH tersebut di atas. Sehingga penylesaian kasus BLBI tersebut  seyogya diselesaikan berdasarkan hukum karena Indonesia berdasarkan negara hukum ( recht state) dan bukan berdasarkan politis. Indonesia bukan negara kekuasaan / power ( mach state)  karena power trend to corupt sehingga  indonesia dibentuk berdasarkan hukum ( rech state) oleh founding father bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta, yang mencita-citakan kesejahteran bagi  seluruh rakyat indonesia ( pasal 33 UUD 1945 amandemen ke-4), yang merupakan pemikiran dan konsep Bapak Koperasi  dan penentang  awal  terjadinya Korupsi di Indoensia di era rezim Orba karenanya  bagi  penyelenggara pemerintrah yang bersih dari  KKN  ( clean government)  diberikan Hatta Award, seperti Gubernur Sumbar, Gunawan Fauzi.

             Disamping itu,  faktor moral hazard merupakan salah satu penyebab penyalahgunaan  dana BLBI. Oleh karena itu faktor moral dan etika bisnis harus dimasukan sebagai variabel ekonomi yang penting khususnya dalam pola tingkah laku berekonomi dan bisnis. .Penegakan moral dan etika binis dalam kegiatan bisnis  perbankan bukanlah tanggung jawab orang bisnis saja/ pemilik bank/bankir – Kode etik bankir  akan tetapi juga merupakan tugas negara untuk menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan. 
     Apa yang dikatakan Milton Friedman bahwa hukum termasuk dalam lingkungan keputusan bisnis :
Corporate official and labour leaders have a social responsibility “ that goes beyond  serving the interest of their stockholders or their member......
Jadi kalangan bisnis perbankan- Pemilik bank/para bankir   harus tetap mempertimbangkan  aspek moral/ etika bisnis  disamping aspek hukum juga tanggung jawab moral dari kegiatan bisnis mereka.
            Selanjutnya para pemilik bank/ para bankir di dalam melakukan kegiatan bisnis mereka hormat dan patuh kepada etika perbankan yang diatur dalam kode etik  Bankir Indonesia antara lain:
  • Patuh dan taat kepada ketentuan Per Undang-undng dan peraturan yaang berlak
  • Tidak menyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
  • Menghindar dari keterlibatan pengambilan keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan
  • Tidak menerima hadiah/ imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarga.
  • Tidak melakukan suatu perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesi.
        Oleh karena itu, seyogyanya para bankir /pemilik Bank di dalam   melakukan kegiatan bisnis mereka mengacu kepada kode etik perbankan khususnya menghormati prinsip-prinsip Etika dalam berbisnis  ( Sonny keraf)  sebagai berikut ::
.  Pertama Prinsip Otonomi. Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggap baik untuk dilakukan. Orang bisnis otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Orang otonom bukanlah orang sekedar mengikuti saja norma dan nlai moral yang ada, melainkan adalah orang yang melakukan sesuatu karena tahu dan sadar bahwa hal itu baik. Karena itu, otonom juga mengandalkan tanggung jawab. Ini unsur penting dari prinisp otonomi. Hanya orang yang bebas di dalam menjalankan tindakannya bisa dituntut untuk bertangung jawab atas tindakannya. Artinya sikap dan tindakannya yang diambil dimungkinkan proses pertimbangan moral. Tanggung jawab moral juga tertuju kepada semua pihak yang terkait  yang berkepentingan (Stakeholders).
Prinsip kedua, prinsip kejujuran merupakan prinisp etika binis. Kegiatan tipu menipu demi meraup untung yang banyak adalah bukan merupakan etika bisnis. Bisnis tidak akan berlangusng lama dan berhasil jika tidak di dasarkan prinsip kejujuran, misalnya di dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian/kontrak bisnis serta tulus dalam melaksanakannya.
Prinsip ketiga, prinsip keadilan. Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan kretria yang rasional dan obyektif.
Prinsip keempat, prinsip saling menguntungkan. Prinsip ini  menuntut agar agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehinga menguntungkan semua pihak.
Prinsip kelima, prinsip integral moral, merupakan tuntutan internal di dalam melakukan bisnis atau perusahaan agar dia perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaannya.
         
      Menurut Prof Dr. Herman Radjaguguk, SH LLM, pakar hukum ekonomi dari UI  dalam sebuah  makalah yang dipaparkan di Denpasar Bali, menyatakan bahwa di USA,   etika bisnis  sudah diatur dalam  bentuk suatu UU tersendir,  karena etika bisnis/moral merupakan roh dari sebuah peraturan peundang-undangan tentang bisnis. .

     Selanjutnya, penyalahgunaan dana BLBI tersebut di atas  juga disebabkan  karena bad corporate and  government, koropsi/KKN dan inefisiensi, lemahnya  pengawasan dan penegakan hukum  serta transparansi  dan akuntabel disektor Jasa Perbankan Milik Pemerintah/Swasta, yang notabene adalah uang milik rakyat.  Oleh karena itu, diperkukan  pengakan prinisp-prinsip tata kelola perusahan yang baik ( good corporate governance) dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance. Misalnya negara sekaliber USA saja, mengeluarkan UU  Sarbanes- Oxley dengan maksud untuk meningkatkan  praktek tata kelola perusahaan yang baik atau  good corporate governance/GCG terutama  pada perusahan milik publik sebagai pencerminan penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dan keadilan dalam mengelola perusahaan., terutama  pasca kasus perusahaan raksasa,  Enron dan World.Com (Kompas, 27 April 2005)
            GCG merupakan salah satu cara mencegah praktek penyalahagunaan dana BLBI/Perbankan nasional sebagai suatu kejahatan hukum bisnis di abad ke-20 ini.  GCG  adalah suatu sistim tentang pelaksanaan hubungan, fungsi dan peranan semua pihak dalam suatu perusahaan, yaitu pihak pengurus, komisaris, pemegang saham mayoritas, para pekerja dan stakeholder lainnya, dimana satu sama lain saling mengawasi dan saling bekerjasama dalam menjalankan roda perusahan. Dan apabila hubbungan, fungsi dan peranan dari masing-masing pihak tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka disebut dengan corporate governance yang baik (GCG).
        Adapun prinsip-prinsip dari GCG adalah prinsip keadilan (fairness), prinsip keterbukaan (transparency), prinsip akuntabilitas (accountability), prinsip tanggung jawab (responsibility) dan prinsip kemandirian (independence).    
            Dalam perspektif industri perbankan, GCG mencakup bagaimana bank selaku institusi keuangan dikelola oleh suatu tim manajemen. Dalam hal ini tindfakan manajemen pertamakali adalah menetapkan tujuan perusahaan secara spesifik. Tujuan ini untuk memberikan arah (stewardship), bagaimana perusahaan dikelola day by day. Aktivitas selanjutnya adalah manajemen harus mendorong terciptanya budaya perusahan agar bank beroperasi dengan aman dan sehat serta mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, GCG merupakan suatu mekanisme dimana pemangku kepentingan (stakeholders) dari suatu badan usaha melaksanakan pengendalian atas pengurus dan atau pihak lain di dalam perusahaan sedemikian rupa sehinga seluruh kepentingan dapat dilindungi.Target GCG adalah pengembangan perusahaan perbankan agar makin menguntungkan, makin rendah resikonya dan makin sesuai dengan kebutuhan seluruh pemangku kepentingan. Manajemen harus mampu menjadi motor agar bank makin efisien dan efektif dalam mengelola sumber daya dan resiko serta mempertanggung jawabkannya kepada pemegang sahm dan pemangku kepentingan lainnya. Tanggung jawab penerapan GCG ada pada manajemen dan pemilik.Namun implementasinya dilakukan secara bertahap.
            Dalam implementasi GCG, manajemen puncak (top manajemen) harus yakin akan integritas manajemen senior dalam melaksanakan prinisp tata kelola yang baik dan bahkan keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang dilarang yang dapat merusak kulitas GCG. Terutama yang harus diwaspadai terjadinya konflik kepentingan serta pemberan fasilitas kepada diri sendiri dan pegawai yang berkelebihan. Terkait dengan pelaksanaan GCG, pejabat senior ini penting dalam pelaksanan tugas sehari-hari dan mempertaanggung jawabkannya kepada Direksi, karena ketidak jelasan dalam pemberian wewenang dan tanggung jawab akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari terutama jika sasaran yang telah ditentukan tidak tercapai.                                          
Selanjutnya, dari fungsi pengawasan (oversight function), keberhasilan Dewan Pengawas sangat tergantung kepada keahlian profesional dan integritas pribadinya. Pemahaman akan peran komisaris dalam menciptakan bank yang sehat dan menguntungkan (soun bank) merupakan poin penting untuk keberhasilan tugasnya memprkuat GCG. Karena itu, integritas dalam bekerja akanditunjukan dengan loyalitas 100 % kepada bank, bukan kepada pemilik dan Direksi.Sikap demikian akan mencegah sebagai “Komisari stempel” (rubber stamp).
Manfaat dari GCG adalah sebagai berikut :
Dengan penerapan GCG, tugas pengawasan Bank Indonesia relatif mudah         ( Misalnya Gubernur BI   sudah 100 lebih surat teguran/peringatan diberikan kepada Bank Mandiri dalam kasus pemberian kredit yang akhirnya jadi macet yang menyebabkan kerugian keuangan negara) karena bank menjalankan kaidah bisnis yang benar sehingga praktek kejahatan bisnis perbankan seperti BLBI yang tidak sehat itu  pasti berkurang. Manfaaat GCG ini juga akan dinikmati pemilik, pegawai dan juga masyarakat. Penerapan GCG secara total akan meningkatkan kepercayan publik terhadap bank. Kalau kepercayan sudah timbul, bank akan mudah mencari tambahan dana dan modal ( Bank – bank tidak perlu diobligasi/disubsidi lagi  oleh Pemerintah yang menyebabkan salah satu sumber  defisit terhadap  APBN kita) karena investor  percaya bahwa bank dikelola secara baik.
Demikianlah  hal-hal yang perlu diperhatikan bagi para bankir  BUMN/Swasta di dalam meningkatkan manajemen dan kinerja perbankan nasional kedepannya  secara lebih adil, transparan dan akuntabel serta berkelanjutan bagi kepentingan semua pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat dalam industri sektor jasa perbankan  di Indonesia terlebih-lebih suka tidak suka, siap tidak siap bangsa  kita harus menghadapi era persaingan  globalisasi perdagangan bebas dan investasi seperti sekarang ini khusus dalam sektor industri jasa perbankan.Mayoritas saham di Bank-bank milik BUMN/Pemerintah sekarang ini  sudah dikuasai oleh  investor asing. Dan hal ini jelas-jelas menyalahi Pasal 1 ayat (2) UU No.  19 tahun 2003 tentang BUMN dimana mayoritas saham di perusahaan milik pemerintah/BUMN tetap harus ditangan bangsa kita ( 51 % saham).
Jadi  Pemerintah selaku  badan regulator dan fasilitor harus  tetap dibuka kemungkinan kepemilikan saham mayoritas tetap berada di tangan bangsa kita seperti yang pernah berlaku pada ketentuan di bidang Penanaman Modal Asing dul, sehinga manajemen dan kendali perushan tetpa ditangan bangsa Indonesia dan bukan bangsa asing/investor asing. .

E. Penutup.

             Penyalahgunaan dana BLBI  tersebut di atas merupakan suatu  bentuk kejahatan hukum bisnis  yang disebut  kejahatan kerah putih / “ white collar crime” / tindak pidana ekonomi perbankan/  perbuatan melanggar hukum  ( 1365 KUH Perdata dan  tindak pidana korupsi dan penggelapan..  Oleh karena itu , guna memerangi kejahatan  hukum bisnis “ white collar crimer” tersebut, maka   ke depannya perlu  penegakan hukum  atau law enforcement” meskipun langit akan runtuh esok hari, penegakan prinsip-prinsip etika bisnis dan goor corporate governance dan good governance di Indonesia.  Dan semuanya itu, tergantung dari good will dan political wil   Pemerintah,  pelaku bisnis/ Swasta dan masyarakat
*) Pemerhati dan praktisi hukum bisnis/Counsellor at busines law/solicitor/peneliti dan penulis  masalah hukum bisnis “independent/Alumni FHUI (S1), PEMEGANG SERTRIFIKAT DARI LONDON SCHOOL OF ECONOMIC & POLITICAL SCIENE, LONDON DAN S2 UNPAD, BKU HUKUM BISNIS.









                           DAFTAR REFERENSI/LITERATUR

A.    Buku-buku.

    1. Munir Fuadi, Bisnis Kotor –Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
    2.  Romli Atmasasmita, Pengantar hukum kejahatan bisnis,  Prenada Media, Jakarta, Juli  2003.
    3.  Tim Humanika,    BLBI        Megaskandal Ekonomi Indonesia, Humanika, Jakrta ,  Juli 2001.
    4. Sonny Keraf, Etika Bisnis –Tuntan Dan Relevansinya, Kanisius, Jakarta, 1998.
    5. Muhamad Djumhana, Hukum perbankan di Indoenesia,  PT Citra Aditya bakti, Bandung 2003.
     Makalah .
     Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan nasional, Mendorong
     Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial Makalah, Seminar Lokakarya
     Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, BPHN,Depkeh  dan HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003
                     
 Sumber Lain.
1.Koran Kompas, 27 Desember 2004.


0 komentar:

Posting Komentar