1/29/2013

HUKUM KONTRAK MENURUT HUKUM INGGRIS DAN INDONESIA


OPINI :
SEBUAH STUDI BANDING
 HUKUM KONTRAK MENURUT HUKUM INGGRIS DAN INDONESIA
DI   ERA GLOBALISASI PERDAGANGAN BEBAS DAN INEVSTASI ASING

Oleh : M.Rizal Alif, SH. MH*)

Hampir sepertiga umat manusia di dunia ini diatur hukum yang aslinya, dari negara Inggris. Salah satu produk hukum Inggris tersebut adalah Bentuk Kontrak Menurut Hukum Inggris atau Formation Contract In English Law (C.F Padfield, ELB, DPA,1988).
Berangkat dari pemikiran tersebut di dalam mengantisipasi era perdagangan bebas  dan investasi asing  ( WTO/AFTA/ APEC ), menurut hemat penulis kita perlu mempelajari/memahami  kontrak bisnis /perdata menurut hukum Inggris sebagai suatu studi perbandingan dengan  kontrak menurut hukum warisan kolonialis Belanda sebagaimana diatur dalam buku ke‑III BW mengenai Hukum Perikatan (R Subekti, 1989) di dalam rangka reformasi  hukum kontrak bisnis/perdata yang lebih sesuai dengan tuntutan era reformasi hukum ,perdagangan bebas dan investasi asing tersebut. Misalnya pro dan kontra mengenai aspek hukum Surat Pekerjaan Kerja (SPK) dan Memorandum Of Understanding (MOU) menurut hukum perikatan Indonesia dan lain‑lain. Agar bangsa kita tidak disebut Chauvinis yang hanya mementingkan hukumnya sendiri dan mengabaikan hukum dari negara lain (S Gautama, 1976) khususnya di dalam masalah transaksi bisnis internasional dengan mitra dagangnya dari luar negeri yang menerapkan bentuk kontrak berdasarkan Common Law tersebut.
Menurut Hukum Inggris kontrak adalah cabang dari hukum perdata atau lawan dari hukum publik. Kontrak merupakan suatu perjanjian yang mengikat para pihak yang membuatnya. Contohnya A dan B setuju untuk melaksanakan transaksi jual beli sebuah mobil. A sebagai penjual dan B sebagai pembeli. Pada dasarnya konsensus di dalam kontrak mengikat para pihak sebagai hukum itu berarti para pihak dilarang melanggar konsensus/komitmen – breach of commitment  tersebut atau tidak diijinkan salah satu pihak membatalkan kontrak itu.
Setiap kontrak berdasarkan atas perjanjian para pihak. Namun tidak setiap perjanjian diantara para pihak disebut kontrak. Sebab hanya perjanjian yang dapat menunjukkan keinginan para pihak tentang perjanjian seyogyanya memiliki konsekuensi hukum.
Perjanjian keluarga dimana seorang suami setuju untuk membayar isterinya sejumlah uang untuk mengelola rumah tangga bukan  merupakan suatu kontrak menurut hukum Inggris..
   Pengertian Kontrak.
Yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. (Black, Henry Campbell, 1968: 39,4). Selanjutnya, ada juga yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dan kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan.
Kontrak Menurut Hukum Inggris dan perbandingannya dengan hukum kontrak menurut hukum Indonesia.

Syarat‑syarat sahnya kontrak menurut  hukum inggris  (W.F Frank, 1975):
a).   Para pihak harus memiliki kapasitas hukum untuk membuat kontrak;
b).    Salah satu pihak harus membuat suatu penawaran yang mengikat kepada pihak fain, dan penawaran itu sudah harus diterima;
 c).  Kontraknya harus didukung dengan pertimbangan;
 d). Kontraknya harus dibuat dalam  bentuk khusus.
  e). Perjanjian para pihak harus  legal  (tidak boleh ilegal);
Kontrak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas tidak mengikat secara hukum atau "null and void".
         Adapun penjelasan  dari syarat-syarat kontrak menurut hukum Inggris tersebut di atas adalah sebagai berikut :
  a). Kapasitas
Ada 3 (tiga) tingkatan ketidak mampuan untuk membuat kontrak menurut hukum Inggris  (Philip S James, 1979):
1.      Orang yang belum dewasa (minor).
Peraturan common law menegaskan bahwa kontrak anak‑anak tidak mengikat secara hukum. Setiap orang dibawah usia 21 tahun yang membuat kontrak adalah tidak sah secara hukum. Tidak seorangpun seyogyanya diijinkan mensahkan suatu kontrak yang telah dibuat yang bersangkutan sebelum dewasa (the Infants Relief Act 1874).
2.      Koperasi (Corporations)
3.      Orang gila dan mabuk.
   b).   Penawaran dan Penerimaan (Offer dan Acceptance).
Semua perjanjian dapat dianalisa ke dalam suatu penawaran atau Offer dan Penerimaan atau Acceptance, yang dapat dibuat dengan kata‑kata atau tingkah laku. Namun tidak semua penawaran dan penerimaan akan diijinkan kedalam Perjanjian Hukum. Ada peraturan hukum yang mengatur keabsahaan Penawaran dan Penerimanaan yang harus kita pertimbangkan (Philip S James, 1979).
Pertama, Penawaran, suatu penawaran dapat dibuat kepada orang yang khusus atau masyarakat umum untuk menerimanya. Namun penawaran itu harus dikomunikasikan kepada penerima sebagai suatu fakta pertanyaan. Di dalam hal pembatalan, suatu penawaran, tanpa disertai materai dan pertimbangan diasumsikan dibuka waktu yang beralasan kecuali hal itu tidak diekspresikan untuk membuka suatu penawaran dalam jangka waktu yang terbatas.
Kedua, Penerimaan, prinsipnya bahwa penerima harus mengetahui penawaran pada waktu ia menandatangani penerimaan untuk perjanjian. Penerima tidak perlu menandatanganinya dengan lain kata ia dapat juga menandatanganinya dengan tingkah laku. Meskipun demikian kepentingan harus mengambil tempat.
Undang‑undang barang dan jasa tahun 1971 menyatakan bahwa ketika barang‑barang dikirimkan kepada seorang voluntary, mereka dipertimbangkan sebagai suatu hadiah tanpa syarat kepadanya atas kondisi‑kondisi yang pasti.
c).  Pertimbangan (consideration)
Suatu kontrak yang akan dilaksanakan di bawah materai, kecuali penggugat dapat menunjukkan telah disediakan pertimbangan. Pertimbangan atau consideration adalah salah satu elemen pokok, yang membedakan kontrak mengikat dapat melaksanakan janji‑janji. Pertimbangan dapat didefinisikan sebagai pertimbangan yang bernilai dalam hukum dapat berdiri dari hak yang sama.
Pertimbangan harus real, ini ditunjukkan dalam contoh dibawah ini:
a.    Suatu janji untuk mengerjakan sesuatu yang jelas‑jelas tidak mungkin adalah dengan jelas kurang bernilai;
b.   Suatu janji yang tidak jelas tidak akan melanjutkan pertimbangan.

d). Formalitas
Tidak ada formalitas khusus yang diperlukan untuk menciptakan suatu kontrak. Pengecualiannya kontrak‑kontrak harus dibuat dibawah materai, dengan Akta adalah (Philip S James, 1979):
1.      Kontrak hanya sah secara hukum ketika dibuat dalam suatu bentuk Form khusus:
a.    Kontrak yang dibuat atas badan hukum;
b.    Semua property atas tanah atau setiap kepentingan­kepentingan atas tanah (subyek kepada Property Acr 1925, Sub 52 (2);
c.   Bukti pembayaran/kwitansi;
d    Perjanjian‑perjanjian kredit.
e).    Illegal

Mengerjakan sesuatu yang ilegal  bukan merupakan suatu tujuan  dari kontrak. Contoh kontrak‑kontrak yang ilegal pada common law adalah kontrak­kontrak untuk melakukan kriminal. Kontrak yang bertentangan dengan kebijaksanaan publik dan kontrak‑kontrak yang bertentangan dengan peraturan moralitas.
   Dari  syarat kontrak menurut hukum Inggris  di atas, jelas beda dengan syarat kontrak  menurut buku ke-3 KUHPerdata/BW  tentang hukum perikatan. Syarat –syaratnya Sah Kontrak menurut buku  ke III KUHPerdata adalah sebagi berikut :
1.   Syarat Sah yang Objektif Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata.
2.   Syarat Sah yang Subjektif Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata.
3.   Syarat Sah yang Urnum di Luar Pasal 1320 KUH Perdata.
4.   Syarat Sah yang Khusus.
Berikut ini penjelasan dari masing‑masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:
1.   Syarat Sah yang Objektif Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata
Syarat sah yang objektif atas suatu kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata adalah terdiri dari:
a.     Perihal tertentu dan
b.     Kausa yang diperbolehkan.
Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan adalah bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum.Sedangkan dengan syarat kausa yang diperbolehkan yang di­maksudkan adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud atau alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi, tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal‑hal yang bertentangan dengan hukum.Konsekuensi hukum jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi adalah bahwa kontrak tersebut tidak sah dan batal demi hukum (null and void).
2.   Syarat Sah yang Subjektif Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata
Ke dalam syarat sah suatu kontrak yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata termasuk hal‑hal sebagai berikut:
a.     Adanya kesepakatan kehendak dan
b.   Wenang berbuat.
Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan adalah bahwa agar suatu kontrak dianggap sah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kon­trak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepa­katan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur‑unsur sebagai berikut:
a.     Paksaan (dwang, duress).
b.     Penipuan (bedrog, fraud).
c.     Kesilapan (dwaling, mistake).
Sedangkan syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Kewenangan ber­buat baru dianggap sah oleh hukum manakala kontrak dilakukan oleh orang‑orang sebagai berikut:
a.     Orang yang sudah dewasa.
b.     Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampunan.
c.     Wanita yang bersuami (syarat ini sudah tidak berlaku lagi).
d.    Orang yang tidak dilarang oleh undang‑undang untuk melaku­kan perbuatan tertentu. Misalnya, antara suami dan istri tidak boleh melakukan kontrak jual beli. Atau orang yang melaku­kan kontrak untuk dan atas nama orang lain, tetapi surat kuasanya tidak sah.
Konsekuensi yuridis dari tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif ini adalah bahwa kontrak tersebut "dapat dibatalkan" (voideble, vemietigebaar) oleh salah satu pihak yang berkepenting­an. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
Ada beberapa syarat untuk kontrak yang berlaku umum tetapi di­atur di luar Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
a.    Kontrak harus dilakukan dengan itikad bak
b.    Kontrak tidak boleh bertentangan dengan ke.biasain yang berlaku.
c.    Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan.
d.    Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan urnum.
Apabila kontrak dilakukan dengan melanggar salah satu dari 4 (empat) prinsip tersebut, maka konsekuensi yuridisnya adalah bahwa kontrak yang demikian tidak sah dan batal demi hukum (null and void).
Di samping syarat‑syarat tersebut di atas, maka suatu kontrak  menurut buku ke-III  KUH Perdata, haruslah memenuhi beberapa syarat khusus yang ditujukan untuk kontrak‑kontrak khusus. Syarat‑syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Syarat tertulis untuk kontrak‑kontrak tertentu.
b.    Syarat akta notaris untuk kontrak‑kontrak tertentu.
c.     Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-­kontrak tertentu.
Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-­kontrak tertentu
 Dari perbedaan hukum kontrak Inggris dan Indonesia tersebut, menurut penulis seyogya  Pemerintah dan DPR  sudah harus  membuat  UU tentang Kontrak/perikatan  perdata  yang dapat  mengakomodir dinamika  perkembangan bisnis di era globalisasi perdagangan  dan investasi sekarang ini (WTO/AFTA/APEC) dengan  bahan perbandingan  kontrak menurut hukum Inggris,  yang menganut  persyaratan sahnya kontrak antara lain melalui offering dan acceptance tersebut di atas, yang juga dianut  dalam Pasal  2 ayat (1) prinsip-prinsip UINDROIT  yang menyatakan :
  A contract may be concluded either by the acceptance of an offer or by the conduct of the parties that is suficinet to show agreement.
       Inti dari ketentuan di atas adalah bahwa  sebuah  kontrak terjadi karena adanya  (1) penawaran dan penerimaan dan (2) karena prilaku yang menunjukan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.
             Dasar dari prinsip-prinsip  UNIDROIT ini adalah dengan tercapainya kata sepakat saja sudah cukup melahirkan kontrak. Namun  prinisp-prinsip UNIDRIT  tidak mengatur syarat sah kontrak seperti yang dianut Pasal 1320 BW  dan atau hukum kontrak Inggris di atas  seperti a) tidak memiliki kemampuan/; b) tidak memliki kewenagan /dan c) amoralitas dan ilegalitas. Sebagimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) prinisp UNIDROIT  :
These principles do not deal with invalidity arising from: a) lack of capacity; b) lack of authority, and c) immorality or ilegality.
    Prinisp-prinsip UNIDROIT   sangat penting  dalam era globalisasi perdagangan bebas dan globalisasi ( WTO/AFTA/APEC/MEE) karena  telah menjadi acuan   reformasi hukum kontrak hampir diseluruh dunia, seperti Belanda, Jerman, USA, Kanada bahkan Rusia. Hal ini  merupakan fenomena tumbuhnya harmonisasi hukum perdata , teruitama hukum kontrak.Prinsip-prinsip UNIDROIT  dan atau  hukum kontrak Inggris ini memuat ketentuan yang baik dan menguntungkan  bagi negara berkembang seperti  Indonesia kedepannya melalui reformasi hukum kontrak sebagaimana diatur dalam buku ke-3 BW karena  KUH Perdata/BW dan RUU  Perjanjian masih memiliki kekurangan yang perlu disempurnakan lagi. sesuai tuntuntan  globalisasi  transaksi bisnis yang berkembang dinamis. (WTO/AFTA/APEC/)
 Penutup.
         Di dalam rangka reformasi  hukum kontrak bisnis/perdata yang lebih sesuai dengan tuntutan era reformasi hukum perdagangan bebas dan investasi asing (WTO/AFTA/CAFTA/APEC), maka  hukum kontrak menurut hukum Inggris  dapat dijadikan sebagai  bahan kajian/ study banding  agar bangsa kita tidak disebut Chauvinis yang hanya mementingkan hukumnya sendiri dan mengabaikan hukum dari negara lain   di dalam melaksanakan transaksi –transaksi bisnis internasional dengan mitra dagangnya/investor asing  dari luar negeri..
*).Magister Hukum Unpad,Bandung/Konsultan Hukum/Advokat



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Dear Pak Rizal Alif,

terimakasih atas informasi yang dipaparkan mengenai perbandingan kontrak dengan hukum indonesia dengan english law

regards
Harry

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Terima kasih untuk informasi yang diberikan

Posting Komentar