Analisa dan Solusi
penyalah gunaan dana BLBI sebagai bentuk kejahatan hukum bisnis kerah
putih ( White collar crime) di Indonesia
Oleh M. Rizal Alif, SH MH *)
A. Pendahuluan
Kejahatan bisnis perbankan Bantuan Likuiditas Bank IndoneSia
(BLBI) dilakukan ketika uang bantuan BLBI
tersebut umumnya bukannya digunakan untuk menyehatkan manajemen dan
kinerja perbankan nasional, melainkan telah disalahgunakan untuk keperluan
pribadi pemilik bank, sehingga merebaklah kejahatan bisnis perbankan penyalahgunaan
dana BLBI yang diarahkan ke tindak pidana korupsi – memperkaya diri sendiri /
kelompoknya dengan merugikan keuangan negara dan hak-hak sosial masyarakat (Pasal 1, 2,3 dan 4 UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo perubahannya UU No. 20 tahun2001 ) atau setidak‑tidaknya penggelapan (Pasal 327 KUHPidana) dan perbuatan melanggar
hukum (pasal 1365 KUH Perdata).
Kejahatan bisnis BLBI ini melibatkan uang dengan jumlah
yang tidak tanggung‑tanggung yaitu triliunan rupiah, dan sebagai pemilik bank
yang telah menjarah uang milik negara/rakyat
“tak berdosa” tersebut melarikan diri ke luar negeri, ada yang
sakit dan bahkan sudah meninggal di luar negeri, sementara uangnya tetap
raib. Tidak heran jika banyak orang menyebut‑sebut bahwa BLBI merupakan
kejahatan hukum bisnis terbesar di abad
ke‑20.
Dana yang disalahgunakan itu tidak tanggung-tanggung, yaitu sampai Rp 138.000.000.000.000,0 (seratus tiga puluh
delapan triliun rupiah), berdasarkan hasil audit BPK yang dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut ( Munir fuady: 106;2004):
:
- Ada yang oleh bank penerima BLBI menggunakan dana BLBI tersebut untuk keperluan membeli devisa dan memindahkan aset ke luar negeri.
- Ada membayar pinjaman bawaan kepada kelompoknya.
- Memberikan pinjaman baru.
- Membawanya kepasar uang.
- Membiayai operasional bank.
Jumlah BLBI yang jatuh kepada pemiliknya atau kelompoknya
sendiri adalah sebagai berikut :
- Di Bank Central Asia (BCA), sebesar 60 % (enam puluh persen)
- Di Bank Danamon, sebsar 60 % (enam puluh persen)
- Di Bank Umum Nasional (BUN), sebesar 78 % (tujuh puluh delapan persen)
- Di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebesar 91 % (sembilan puluh satu persen).
Dana BLBI sejumlah Rp 145.000.000.000.000,00 (seratus
empat puluh lima triliun rupiah) tersebut diberikan kepada 48 (empat puluh
delapan) bank swasta nasional tetapi porsi yang paling banyak diterima oleh :
- BCA, milik Liem Sioe Liong.
- Bank Danamon, milik Usman Admadjaja.
- Bank Umum Nasional, Milik Bob Hasan.
- BDNI, milik Syamsul Nursalim
Kepemilikan keempat Bank tersebut di atas sangat terkait
dengan keluarga Presiden yang berkuasa saat itu (mantan Presiden Soeharto).
Tabel A.
Daftar Nama-nama bank Penerima BLBI
No
|
Bank
|
Jumlah
BLBI
|
%
|
Penanggung
Jawab
|
||
1
|
Bank Dagang Nasional Indonesia
|
37.039,76
|
25,63
|
Sjamsul Nursalim
|
||
2
|
Bank Central Asia
|
26.596,28
|
18,40
|
Sudono Salim
|
||
3
|
Bank Danamon
|
23.118,38
|
15,99
|
Usman Atmadjaja
|
||
4
|
Bank Umum Nasional
|
12.057,95
|
8,35
|
Mohamad Hasan,
Kaharudin Ongko
|
||
5
|
Bank Indonesia Raya
|
4.018,24
|
2,78
|
Atang Latief
|
||
6
|
Bank Harapan Sentosa
|
3.866,18
|
2,67
|
Hendra Raharja
|
||
7
|
Bank Nusa Nasional
|
3.020,32
|
2,09
|
-
|
||
8
|
Bank Tiara Asia
|
2.99,24
|
2,01
|
-
|
||
9
|
Bank Modern
|
2.557,69
|
1,77
|
Samadikun Hartono
|
||
10
|
Bank Pesona (d/h Bank Utama)
|
2.334,89
|
1,62
|
Sigit Harjojudanto
|
||
11
|
Bank Pacific
|
2.133,37
|
1,48
|
Hendrik Wilem T.
|
||
12
|
Bank Asia Pacific
|
2.054,97
|
1,42
|
Yhomas Suyatno
|
||
13
|
Bank PDFCI
|
1.995,00
|
1,38
|
-
|
||
14
|
Bank Pelita
|
1.989,83
|
1,38
|
Hashim S. Djojohadikusumo
|
||
15
|
Bank PSP
|
1.938,95
|
1,34
|
Slamet S. Gondokusumo
|
||
16
|
Sejahtera Bank Umum
|
1.687,35
|
1,17
|
Hasudungan Tampubolon
|
||
17
|
Bank Surya
|
1.653,75
|
1,14
|
H. Sudwikatmono
|
||
18
|
Bank Central Dagang
|
1.403,49
|
0,97
|
Sam Handojo
|
||
19
|
Bank Papan
|
928,91
|
0,64
|
Hashim S. Djojohadikusumo
|
||
20
|
Bank Picorinvest
|
917,85
|
0,64
|
Deddy Nurjaman
|
||
21
|
South East Asia Bank
|
899,40
|
0,62
|
Tidjan Ananto
|
||
22
|
Bank Subentra
|
860,85
|
0,60
|
Benny Suherman
|
||
23
|
Bank Pinaesaan
|
681,08
|
0,47
|
HR. Rembert
|
||
24
|
Bank Sewu
|
642,25
|
0,44
|
Dasuki Angkosubroto
|
||
25
|
Bank Centris
|
629,63
|
0,44
|
Hubertus Setyawan
|
||
26
|
Bank Dewa Rutji
|
609,41
|
0,42
|
Rudolf Kasenda
|
||
27
|
Bank Asia raya
|
578,92
|
0,40
|
Henry Liem
|
||
28
|
Bank Istimarat
|
520,23
|
0,36
|
Hashim S. Djojohadikusumo
|
||
29
|
Bank Industri
|
511,47
|
0,35
|
Hashim S. Djojohadikusumo
|
||
30
|
Bank Dagang Industri
|
481,55
|
0,33
|
Prof. DR. H. Sukamdani S.G.
|
||
31
|
Bank Intan
|
401,55
|
0,28
|
Fadel Muhammad
|
||
32
|
Bank Umum Servitia
|
361,98
|
0,25
|
Rijanto Sastroatmojo
|
||
33
|
Bank Mataram Dhanaarta
|
336,76
|
0,23
|
Sri Sultan HB X
|
||
34
|
Bank Aken
|
301,32
|
0,21
|
Indra Haryono SE.
|
||
35
|
Bank Guna Internasional
|
251,06
|
0,17
|
Letjend TNI (Purn) Sutopo Y.
|
||
36
|
Bank UPPINDO
|
242,95
|
0,17
|
Miranda S. Gultom
|
||
37
|
Bank Lautan Berlian
|
240,82
|
0,17
|
Ulung Bursa
|
||
38
|
Bank Tata Internasional
|
221,28
|
0,15
|
Ny. Susilawati Wijaya NG
|
||
39
|
Bank Hokindo
|
214,23
|
0,15
|
Hokianto
|
||
40
|
Bank Jakarta
|
210,99
|
0,15
|
H. Probosutedjo
|
||
41
|
Bank Anrico
|
210,08
|
0,15
|
Prof. Harun Alrasjid Zain
|
||
42
|
Bank Kosagraha Semesta
|
201,81
|
0,14
|
Setiawan Chandra
|
||
43
|
Bank Citrahasta Manunggal
|
201,80
|
0,14
|
Suyoso Sukarno
|
||
44
|
Bank Danahutama
|
184,82
|
0,13
|
Sofjan Wanandi
|
||
45
|
Bank Deka
|
152,91
|
0,11
|
Dewanto Kurniawan
|
||
46
|
Bank Dwipa Semesta
|
110,11
|
0,08
|
Dr. Yoga Sugomo
|
||
47
|
Bank Baja Internasional
|
35,77
|
0,02
|
Riyanto
|
||
No
|
Bank
|
Jumlah
BLBI
|
%
|
Penanggung
Jawab
|
||
|
|
|
|
|
||
48
|
Bank Umum Majapahit Jaya
|
8,55
|
0,01
|
Roy E. Tirtadji
|
||
49
|
Bank Kharisma
|
-
|
-
|
-
|
||
50
|
Bank Indoncitra
|
-
|
-
|
-
|
||
51
|
Bank Patriot
|
-
|
-
|
-
|
||
52
|
Bank BTPN
|
-
|
-
|
-
|
||
53
|
Bank Seri Partha
|
-
|
-
|
-
|
||
54
|
Bank Adromeda
|
-
|
-
|
-
|
||
Sumber : Tim Humanika,
BLBI,Megaskandal Ekonomi Indonesia
Persoalan penyalahgunaan dana BLBI
tersebut di atas mulai terkuak manakala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) melakukan audit untuk neraca Bank Indonesia dan menghasilkan opini yang
“disclaimer” per 14 Mei 1999, masalah penyalahgunaan penyaluran BLBI
tersebut. Sebagai akibat opini disclaimer tersebut, maka DPR meminta BPK
untuk melakukan audit investigasi atas BLBI ini, yang akhirnya hasilnya ke luar
angka penyalahgunaan sebesar Rp 138.000.000.000.000,00 (seratus tiga puluh
delapan triliun rupiah) atau 96 % (sembilan puluh enam persen) dari keseluruhan
dana BLBI yang telah dikucurkan bank Indonesia/Pemerintah, yaitu sejumlah 145.000.000.000.000,00
(seratus empat puluh lima triliun rupiah).
Penyalahgunaan dana BLBI
tersebut diatas BLBI merupakan
suatu bentuk tindak pidana
ekonomi perbankan/ kejahatan hukum
bisins / kejahatan white Collar Crime. Istilah White collar crime pertama kali digunakan oleh Edwin Sutherland
pada tahun 1939 dalam bukunya berjudul “ white
collar criminality” ( Muhamad Djumhana: 452: 2003). White collar crime adalah kejahatan yang
dilakukan rang-orang yang memunyai kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat
dalam melakukanpkerjaannya. Menurut definisi kepolisian RI white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan orang-orang dari
kalangan sosial ekonomi tinmgkat atas dalam hubungannya dengan kegiatan
pekerjaan atau jabatannya.
B. Pengertian
white collar crime dan BLBI
White collar crime adalah suatu perbuatan (tidak berbuat)
dalam sekelopok kejatahan yang spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana
yang dilakukan oleh pihak profesional, baik indvidu, organisasi atau sindikat
kejahatan atau oleh badan hukum. Dan
tindak pidan perbankan dalam kasus penyalah gunaan BLBI dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang perbankan / kejahatan
kerah putih (white collar crime). (Munir
Fuady: 9: 2004)
Sementara Pengertian
BLBI adalah suatu kebijaksanaan dari
pemerintah dan Bank Indonesia, di mana
Bank Indonesia menyuntikan dana kepada bank-bank nasional yang sedang berada
dalam kesulitan dana agar bank-bank tersebut dapat membayar kepada para
deposannya masing-masing, sehingga dapat dihindari terjadinya kepanikan
masyarakat dan gagal bayar dari bank tersebut kepada deposannya itu. Dengan
demikian, lewat peluncuran BLBI, pemerintah memberikan jaminan umum (blanket
guarantee) kepada masyarakat penyimpan dana bahwa uang simpanannya tidak
akan hilang jika terjadi sesuatu atas bank tersebut.Lembaga blanket
guarantee ini diperlukan terutama sebelum adanya lembaga penjaminan simpanan yang khusus. Oleh
karena itu, sekarang ini Pemerintah cuma
menjamin dana milik masyarakat/ deposan
yang disimpan di Bank cuma di bawah Rp 100. 000.000,- (seratus juta
rupiah) ke bawah ( tergantung kebijakan
perusahaan Bank masing-masing-mekanisme pasar bebas terhadap pelaku pasar
disektor bisnis perbankan di era globalisasi bisnis).
C Kejahatan hukum bisnis “White collar crime “ yang dilakukan para bankir Pemerintah/Swasta dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI
Adapun white collar
crime yang
dilakukan oleh para bankir milik Pemerintah/Swasta dalam kasus BLBI tersebut di atas antara
lain (Munir Fuady: 110: 2004) :
1. Ada konspirasi
dalam penerbitan BLBI antara para penerbitnya dan pihak penerimanya.
2.
BLBI
diberikan kepada pihak yang tidak pantas.
3.
BLBI
diarahkan untuk diberikan kepada pihak tertentu.
4.
BLBI
diberikan dengan jumlah yang melebihi dari yang sepantasnya.
5.
Penyelesaian
masalah perdata BLBI (release and discahrge /MRNIA), yang
dalam hal ini dilakukan dengan mengembalikan seluruh dana BLBI kepada
pemerintah, tidak menghapuskan ancaman pidana terhadap penerima BLBI.
6.
Penggelembungan
(mark up) nilai aset jaminan yang
diserahkan kepada pemerintah secara sangat signifikan. Bayangkan, jaminan aset
yang dikatakan bernilai Rp
129.400.000.000.000,00 (seratus dua puluh sembilan triliun empat ratus miliar
rupiah), ternyata nilai cessie
komersilnya hanya berjumlah Rp 12.300.000.000.000,00 (dua belas triliun tiga
ratus miliar rupiah).
7.
Penyimpangan
dalam penyaluran dana BLBI kepada Bank beku Operasi (BBO), Bank take Over
(BTO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BKU) dan Bank Dalam Likuidasi (BDL) antara
lain dalam bentuk penytimpangan dalam
enyaluran dana talangan rupiah/ valuta asing/ fasiltas diskonto dan surat
berharga pasar uang.
8.
Dana
BLBI oleh penerimanya telah disalahgunakan untuk tujuan sebagai berikut:
˝
Ada
yang oleh bank penerima BLBI menggunakan dana BLBI untuk keperluan membeli
devisa dan memindahkan asset ke luar negeri.
˝
Ada
membayar pinjaman bawaan kepada kelompoknya.
˝
Memberikan
pinjaman baru.
˝
Membawanya
ke pasar uang.
˝
Membiayai
operasional bank.
Kejahatan hukum bisnis dalam bentuk white colar crime tersebut di atas jelas-jelas telah merugikan kepada Pemerintah,
Swasta dan Masyarakat. Misalnya Defisit APBN, Ekonomi sektor rill macet menyebabakna banyak
terjadi PHK/pengaguran, Harga-harga
barang kebutuhan poko masyarakat naik
sehinga masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah semkin “ terhimpit” ekonominya- gaya hidupnya,
presitisenya terpaksa dikurangi,sehingga yang dibutuhkan sekarang prestasi –
anggaran berbasis kinerja/ prestasi/performance ( UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan
negara). Akibat kejhatan bisinsi BLBI tersebut,
bunga obligasi menjadi besar yang harus ditanggung APBN/APBD, yang
berakibat kepada besarnya biaya pendidikan, kesehatan, dana
perbaikan/pemeliharaan infrastruktur
Jalan (Propinsi, Kab/Kotamdya) yang rusak parah karena dananya tidak
mencukupi dan lain sebagainya.Ini semua
merupakan dampak langsung akibat praktek penyalahgunaan BLBI sebagai suatu kejahatan hukum bisnis terbesar di Indonesia di abad ke-20 ini.
.
C Analisa dan Solusi
penyalah gunaan dana BLBI sebagai bentuk kejahatan hukum bisnis kerah
putih ( White collar crime) di
Indonesia
The
best way to rob the bank is to own one. Cara terbaik untuk merampok bank adalah dengan jalan
memilikinya. Demikian kata orang‑orang bisnis zaman sekarang. Karena sebagai
pemilik bank, apa pun dapat dilakukannya, tanpa perlu terlalu memikirkan nasib
nasabah, pemerintah, atau stakeholder lainnya.
Berdasarkan prinsip seperti ini, maka pemilik bank dapat merampok bank tersebut
dengan mengambil uang yang dikucurkan kepadanya oleh Bank Indonesia lewat BLBI.
Oleh karena itu, terdapat niat pemerintah untuk membebaskan
para bankir yang melakukan penyalahgunaan dana BLBI tersebut di atas dengan
membebaskan mereka dari tuntutan pidana apabila mengembalikan seluruh utang
yang timbul dari penyaluran BLBI tersebut. Bahkan pembebasan dari tuntutan
pidana korupsi atau penggelapan dana
BLBI tersebut telah ditulis dan ditandatanganinya oleh pemerintah dengan pihak debitur dalam
bentuk Settlement agreement yang disebut dengan Release and Discharge.
Release and discharge
tersebut disebut dalam Master
Settlement and Acqusition Agreement (MSAA), yaitu agreement bagi penerima
BLBI dan pelanggar BMPK, yakni Pelanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (untuk
perusahaan dalam 1 (satu) group), yang diberikan terhadap debitur yang assetnya
mampu menutupi seluruh kewajibannya kepada pemerintah.Sementara debitur yang
assetnya tidak mampu menutupi kewajibannya, dipersilahkan menandatangani Master
Refinancing and Note Agreement (MRNIA), dimana pihak debitur harus
menyerahkan personal guarantee dan
menyatakan kesediaanya untuk menyerahkan asset
jika nantinya asset yang sudah diserahkan tersebut tidak mencukupi atau
di bawah kewajibannya. Schema pembayaran seperti ini sudah dapat diduga, bahwa
penggelembungan ( mark up) nilai asset sangat merajalela terjadi akan
tetapi pemerintah membiarkan saja.
Kemudian setelah beberapa konglomerat berhasil melunasi
seluruh utangnya yang terbit dari
pengambilan dana BLBI tersebut, akan tetapi pemerintah saling lempar
tanggung jawab. Masalahnya karena pemerintah takut dihujat oleh rakyatnya, yang
sangat sentimen terhadap para konglomerat penerima BLBI tersebut. Karena
pemberian Release and Discharge secara politis tidak populer dan akan
menghadapi hujatan masyarakat, maka masalah ini dibairkan saja mengantung.
Sementara itu, kalangan ahli hukum menyatakan bahwa pembayaran utang
yang terbit dari BLBI secara hukum hanya merupakan pembayaran utang secara
perdata dan sebagaimana diketahui bahwa sesuai prinsip hukum yang berlaku,
penyelesain penyalahgunaan praktek BLBI secara perdata tidak berarti
menghapuskan tuntutan pidananya. Prof Ramli Atmasasmita,SH LLM, pakar hukum
pidana internasional dari Unpad, Bandung menyatakan penyalahgunaan dana BLBI merupak tindakan
pidana, yaitu masuk kategori pidana penggelapan/ korupsi uang milik
negara.Sebaliknya , Prof. Djuhendah Hasan,SH, pakar hukum bisnis, Unpad, Bandung
menyatakan bahwa penyalahgunaan BLBI
masuk kategori perbuatan melanggar hukum (on rechmatigedad) sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1365 BW. Misalnya kasus BLBI yang dilakukan oleh Rudi
Ramli, Direktur/penanggung jawab Bank
Bali akibat tagihan kreditnya macetnya
kepada Bank Umum Nasional sehingga harus dilakukan melalui cessie yang melibatkan
pihak ketiga, PT EGP.
Jadi penerbitan Release and Discharge dalam Settlement
agreement dengan pihak debitur itu salah pemerintah sendiri. Untuk itu,
pemerintah dan atau pihak yang menandatangani Settlement tersebut dapat
pula dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum.
Sebenarnya, dana talangan Bank Indonesia dalam bentuk BLBI tersebut merupakan hal yang wajar‑wajar
saja dilakukan oleh Bank Indonesia selaku the
lender of the last resort. Akan tetapi, kemudian yang menjadi malapetaka
adalah ketika uang, yang sebenarnya dari pemerintah, yang berarti uang rakyat
tersebut disalahgunakan oleh pemilik bank, yaitu digunakan untuk kepentingan
pribadi pemilik bank, dan setelah itu melarikan diri ke luar negeri, sedangkan
banknya tetap saja dibiarkan dalam keadaan sekarat.
Ketika banyak bank mengalami kesulitan likuiditas terutama
karena krisis moneter, rush nasabah,
ataupun alasan lainnya di sekitar tahun 1998‑2000, banyak sekali dana BLBI yang
dikucurkan kepada bank‑bank. Dan dana
BLBI yang telah dikucurkan tersebut , tidak berarti diberikan oleh pemerintah
secara gratis. Akan tetapi, dana tersebut pada prinsipnya harus dikembalikan
oleh bank tersebut dengan salah satu atau lebih cara‑cara sebagai berikut:
- Diganti dengan uang tunai plus jaminan aset.
- Diganti dengan saham bank tersebut (diambil alih).
- Jaminan pribadi pemilik bank tersebut.
Oleh karena itu, dasar hukum
penerbitan BLBI itu cukup kuat dan
tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan guna dihormati oleh
bankir/pemilik bank yang telah menyalahgunakan dana BLBI milik negara/rakyat
tersebut , antara lain : UU No. 13 tahun 1968, yang kemudian diganti dengan UU
No. 23 tahun 1999 tentang Bank Sentral, dimana dalam hal ini Bank Indonesia
selaku bank Sentral menjadi the lender if
the last resort, UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 tahun 1998 tentang
Perbankan, kepres No. 27 tahun 1998 tentang
Jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank umum, Kepres No. 27 tahun
1998 tentang Pembentukan BPPN dan lain sebagainya.
Dari sisi juridis, penyaluran
dana BLBI bukan merupakan kebijakan baru dan secara mendadakadiciptakan lewat
Kepres No. 26 tahun 1998. Kebijakan tersebut justru telah dilakukan jauh hari
sebelum terjadinya Krismon Juli 1997 dan memliki landasan hukum Bank Indonesia
yang lama, yaitu UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral dan UU No. 7 tahun
1992 tentang perbankan sebagimana telah
diubah dengan UU No. 10 tahun 1998
Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 tahun 1998 menyebutkan bahwa Bank dapat
pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mentasi
kesulitanlikuiditas dalam keadaan darurat. Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (2)
huruf b UU No. 7 tahun 1992 mengaskan bahwa dalam hal suatu bank mengalami
kesulitan likiditas yang membahayakan langsung usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lainsesuai per
undang-undangan yang berlaku. Dan berdasarkan kebijakan penjaminan pemerintah
dalam bentuk blanket guarantee ( Kepres
No. 26 tahun 1998) maunpun pinjaman luar negeri Kepres No.120 tahun
1998.
Istilah BLBI diperkenalkan sejak tangal 15 januari 1998, sebagaimana
ditegaskan pemerintah dalam letter of
intend kepada IMF yang antara lain menyatakan mengenai pentingnya penyedian
bantuan likiditas (liquidity support)
BI kepada perbankan selaku the lender of resort kepada perbanka
sebgai salah satu upaya untuk mempertahankan kelangsungan sistim perbankan di
Indonesia. Oleh karena itu, lewat Kepres No. 26 tahun 1998, persiden Soeharto
waktu mengeluarkan Blanket guarante
terhadap Bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas pasca Krismon July 1997 Menurut penulis, akan lebih baik lagi
jika Kepres No. 26 tahun 1998 ini dibaut
dalam bentuk PP, sebagi cantolan hukum dari
tentang Bank Sentral dan Perbankan tersebut di atas. Karena instrumen
hukum Kepres lebih banyak muatan politisnya dari pada juridisnya.. Semnetara
indonesia bukan negara berdasarkan
politis atau kekuasan (mach state)
karena power/kekuasan trend to corupt akan
tetapi sebagai negara hukum (rech state)
dan negara demokrasi ( dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat) – bukan hanya pro masyarakat berpengahsilan atas/ MBA/
Konglomerat pemilik bank /pengusaha kaya akan tetapi juga rakyat
kecil/masyarakat berpengahasilan menengah ke bawah /MBR. yang perlu
dilindungi hak-hak sosialnya secara
hukumnya.
Dengan demikian, kebijaksanaan bantuan dan jaminan pemerintah
dalam bentuk BLBI ( Kepres No. 26 tahun 1998) , yang mempunyai tujuan utamanya
untuk menyehatkan manajemen dan kinerja perbankan nasional..Dana talangan Bank
Indonesia dalam bentuk BLBI tersebut
merupakan hal yang wajar‑wajar saja dilakukan oleh Bank Indonesia selaku the lender of the last resort.
Masalahnya adalah ketika uang, yang sebenarnya dari pemerintah, yang berarti
uang rakyat tersebut disalahgunakan oleh pemilik bank, yaitu digunakan untuk
kepentingan pribadi pemilik bank, dan setelah itu melarikan diri ke luar
negeri, sedangkan banknya tetap saja dibiarkan dalam keadaan sekarat.
Sehingga pelanggaraan terhadap peraturan
per undang-undangan tentang penerbitan BLBI tersebut dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melanggar hukum / pebutan tindak pidana korupsi sebgaimana
disampaikan Prof Ramli Atmasasmita,SH
LLM dan Prof Djuhaendah hasan SH
tersebut di atas. Sehingga penylesaian kasus BLBI tersebut seyogya diselesaikan berdasarkan hukum karena
Indonesia
berdasarkan negara hukum ( recht state)
dan bukan berdasarkan politis. Indonesia bukan negara kekuasaan / power ( mach state) karena power
trend to corupt sehingga indonesia
dibentuk berdasarkan hukum ( rech state) oleh founding father bangsa Indonesia,
Soekarno – Hatta, yang mencita-citakan kesejahteran bagi seluruh rakyat indonesia ( pasal 33 UUD 1945
amandemen ke-4), yang merupakan pemikiran dan konsep Bapak Koperasi dan penentang
awal terjadinya Korupsi di
Indoensia di era rezim Orba karenanya
bagi penyelenggara pemerintrah
yang bersih dari KKN ( clean government) diberikan Hatta Award, seperti Gubernur
Sumbar, Gunawan Fauzi.
Disamping itu,
faktor moral hazard merupakan salah satu penyebab penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu faktor moral dan
etika bisnis harus dimasukan sebagai variabel ekonomi yang penting khususnya
dalam pola tingkah laku berekonomi dan bisnis. .Penegakan moral dan etika binis dalam kegiatan bisnis perbankan bukanlah tanggung jawab orang
bisnis saja/ pemilik bank/bankir – Kode etik bankir akan tetapi juga merupakan tugas negara untuk
menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan.
Apa yang dikatakan Milton Friedman bahwa hukum termasuk
dalam lingkungan keputusan bisnis :
“ Corporate official and labour leaders have a social responsibility “
that goes beyond serving the interest of
their stockholders or their member......
Jadi kalangan bisnis perbankan- Pemilik bank/para
bankir harus tetap
mempertimbangkan aspek moral/ etika
bisnis disamping aspek hukum juga
tanggung jawab moral dari kegiatan bisnis mereka.
Selanjutnya
para pemilik bank/ para bankir di dalam melakukan kegiatan bisnis mereka hormat
dan patuh kepada etika perbankan yang diatur dalam kode etik Bankir Indonesia antara lain:
- Patuh dan taat kepada ketentuan Per Undang-undng dan peraturan yaang berlak
- Tidak menyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
- Menghindar dari keterlibatan pengambilan keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan
- Tidak menerima hadiah/ imbalan yang memperkaya diri pribadi maupun keluarga.
- Tidak melakukan suatu perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesi.
Oleh karena itu, seyogyanya
para bankir /pemilik Bank di dalam
melakukan kegiatan bisnis mereka mengacu kepada kode etik perbankan
khususnya menghormati prinsip-prinsip Etika dalam berbisnis ( Sonny keraf)
sebagai berikut ::
. Pertama Prinsip Otonomi. Otonomi adalah sikap dan kemampuan
manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya
sendiri tentang apa yang dianggap baik untuk dilakukan. Orang bisnis otonom
adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam
dunia bisnis. Orang otonom bukanlah orang sekedar mengikuti saja norma dan nlai
moral yang ada, melainkan adalah orang yang melakukan sesuatu karena tahu dan
sadar bahwa hal itu baik. Karena itu, otonom juga mengandalkan tanggung jawab.
Ini unsur penting dari prinisp otonomi. Hanya orang yang bebas di dalam
menjalankan tindakannya bisa dituntut untuk bertangung jawab atas tindakannya.
Artinya sikap dan tindakannya yang diambil dimungkinkan proses pertimbangan
moral. Tanggung jawab moral juga tertuju kepada semua pihak yang terkait yang berkepentingan (Stakeholders).
Prinsip kedua, prinsip kejujuran merupakan prinisp etika binis. Kegiatan
tipu menipu demi meraup untung yang banyak adalah bukan merupakan etika bisnis.
Bisnis tidak akan berlangusng lama dan berhasil jika tidak di dasarkan prinsip
kejujuran, misalnya di dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian/kontrak bisnis
serta tulus dalam melaksanakannya.
Prinsip ketiga, prinsip keadilan. Prinsip
keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan
kretria yang rasional dan obyektif.
Prinsip keempat, prinsip saling menguntungkan.
Prinsip ini menuntut agar agar bisnis
dijalankan sedemikian rupa sehinga menguntungkan semua pihak.
Prinsip kelima, prinsip integral moral, merupakan
tuntutan internal di dalam melakukan bisnis atau perusahaan agar dia perlu
menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik
perusahaannya.
Menurut Prof
Dr. Herman Radjaguguk, SH LLM, pakar hukum ekonomi dari UI dalam sebuah
makalah yang dipaparkan di Denpasar Bali, menyatakan bahwa di USA, etika bisnis
sudah diatur dalam bentuk suatu
UU tersendir, karena etika bisnis/moral
merupakan roh dari sebuah peraturan peundang-undangan tentang bisnis. .
Selanjutnya, penyalahgunaan dana BLBI tersebut di atas juga disebabkan karena bad corporate and government, koropsi/KKN dan inefisiensi, lemahnya
pengawasan dan penegakan hukum
serta transparansi dan akuntabel
disektor Jasa Perbankan Milik Pemerintah/Swasta, yang notabene adalah uang
milik rakyat. Oleh karena itu,
diperkukan pengakan prinisp-prinsip tata
kelola perusahan yang baik ( good
corporate governance) dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik atau good governance. Misalnya negara
sekaliber USA saja, mengeluarkan UU
Sarbanes- Oxley dengan maksud untuk meningkatkan praktek tata kelola perusahaan yang baik
atau good corporate governance/GCG
terutama pada perusahan milik publik
sebagai pencerminan penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dan
keadilan dalam mengelola perusahaan., terutama
pasca kasus perusahaan raksasa,
Enron dan World.Com (Kompas, 27 April 2005)
GCG
merupakan salah satu cara mencegah praktek penyalahagunaan dana BLBI/Perbankan
nasional sebagai suatu kejahatan hukum bisnis di abad ke-20 ini. GCG
adalah suatu sistim tentang pelaksanaan hubungan, fungsi dan peranan
semua pihak dalam suatu perusahaan, yaitu pihak pengurus, komisaris, pemegang
saham mayoritas, para pekerja dan stakeholder lainnya, dimana satu sama lain
saling mengawasi dan saling bekerjasama dalam menjalankan roda perusahan. Dan
apabila hubbungan, fungsi dan peranan dari masing-masing pihak tersebut dapat
terlaksana dengan baik, maka disebut dengan corporate governance yang
baik (GCG).
Adapun prinsip-prinsip dari GCG adalah prinsip keadilan (fairness),
prinsip keterbukaan (transparency), prinsip akuntabilitas (accountability),
prinsip tanggung jawab (responsibility) dan prinsip kemandirian (independence).
Dalam
perspektif industri perbankan, GCG mencakup bagaimana bank selaku institusi
keuangan dikelola oleh suatu tim manajemen. Dalam hal ini tindfakan manajemen
pertamakali adalah menetapkan tujuan perusahaan secara spesifik. Tujuan ini
untuk memberikan arah (stewardship), bagaimana perusahaan dikelola day
by day. Aktivitas selanjutnya adalah manajemen harus mendorong terciptanya
budaya perusahan agar bank beroperasi dengan aman dan sehat serta mengikuti
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, GCG merupakan
suatu mekanisme dimana pemangku kepentingan (stakeholders) dari suatu
badan usaha melaksanakan pengendalian atas pengurus dan atau pihak lain di
dalam perusahaan sedemikian rupa sehinga seluruh kepentingan dapat
dilindungi.Target GCG adalah pengembangan perusahaan perbankan agar makin
menguntungkan, makin rendah resikonya dan makin sesuai dengan kebutuhan seluruh
pemangku kepentingan. Manajemen harus mampu menjadi motor agar bank makin
efisien dan efektif dalam mengelola sumber daya dan resiko serta mempertanggung
jawabkannya kepada pemegang sahm dan pemangku kepentingan lainnya. Tanggung
jawab penerapan GCG ada pada manajemen dan pemilik.Namun implementasinya
dilakukan secara bertahap.
Dalam
implementasi GCG, manajemen puncak (top manajemen) harus yakin akan
integritas manajemen senior dalam melaksanakan prinisp tata kelola yang baik
dan bahkan keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang dilarang yang dapat
merusak kulitas GCG. Terutama yang harus diwaspadai terjadinya konflik
kepentingan serta pemberan fasilitas kepada diri sendiri dan pegawai yang
berkelebihan. Terkait dengan pelaksanaan GCG, pejabat senior ini penting dalam
pelaksanan tugas sehari-hari dan mempertaanggung jawabkannya kepada Direksi,
karena ketidak jelasan dalam pemberian wewenang dan tanggung jawab akan
menimbulkan permasalahan dikemudian hari terutama jika sasaran yang telah
ditentukan tidak tercapai.
Selanjutnya, dari fungsi
pengawasan (oversight function), keberhasilan Dewan Pengawas sangat
tergantung kepada keahlian profesional dan integritas pribadinya. Pemahaman
akan peran komisaris dalam menciptakan bank yang sehat dan menguntungkan (soun
bank) merupakan poin penting untuk keberhasilan tugasnya memprkuat GCG. Karena
itu, integritas dalam bekerja akanditunjukan dengan loyalitas 100 % kepada
bank, bukan kepada pemilik dan Direksi.Sikap demikian akan mencegah sebagai
“Komisari stempel” (rubber stamp).
Manfaat dari GCG adalah sebagai berikut :
Dengan penerapan GCG, tugas pengawasan Bank
Indonesia relatif mudah (
Misalnya Gubernur BI sudah 100 lebih
surat teguran/peringatan diberikan kepada Bank Mandiri dalam kasus pemberian
kredit yang akhirnya jadi macet yang menyebabkan kerugian keuangan negara)
karena bank menjalankan kaidah bisnis yang benar sehingga praktek kejahatan
bisnis perbankan seperti BLBI yang tidak sehat itu pasti berkurang. Manfaaat GCG ini juga akan
dinikmati pemilik, pegawai dan juga masyarakat. Penerapan GCG secara total akan
meningkatkan kepercayan publik terhadap bank. Kalau kepercayan sudah timbul,
bank akan mudah mencari tambahan dana dan modal ( Bank – bank tidak perlu
diobligasi/disubsidi lagi oleh
Pemerintah yang menyebabkan salah satu sumber
defisit terhadap APBN kita)
karena investor percaya bahwa bank
dikelola secara baik.
Demikianlah
hal-hal yang perlu diperhatikan bagi para bankir BUMN/Swasta di dalam meningkatkan manajemen
dan kinerja perbankan nasional kedepannya
secara lebih adil, transparan dan akuntabel serta berkelanjutan bagi
kepentingan semua pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat
dalam industri sektor jasa perbankan di
Indonesia terlebih-lebih suka tidak suka, siap tidak siap bangsa kita harus menghadapi era persaingan globalisasi perdagangan bebas dan investasi
seperti sekarang ini khusus dalam sektor industri jasa perbankan.Mayoritas
saham di Bank-bank milik BUMN/Pemerintah sekarang ini sudah dikuasai oleh investor asing. Dan hal ini jelas-jelas
menyalahi Pasal 1 ayat (2) UU No. 19
tahun 2003 tentang BUMN dimana mayoritas saham di perusahaan milik
pemerintah/BUMN tetap harus ditangan bangsa kita ( 51 % saham).
Jadi Pemerintah
selaku badan regulator dan fasilitor
harus tetap dibuka kemungkinan
kepemilikan saham mayoritas tetap berada di tangan bangsa kita seperti yang
pernah berlaku pada ketentuan di bidang Penanaman Modal Asing dul, sehinga
manajemen dan kendali perushan tetpa ditangan bangsa Indonesia dan bukan bangsa
asing/investor asing. .
E. Penutup.
Penyalahgunaan dana BLBI tersebut di atas merupakan suatu bentuk kejahatan hukum bisnis yang disebut
kejahatan kerah putih / “ white
collar crime” / tindak pidana ekonomi perbankan/ perbuatan melanggar hukum ( 1365 KUH Perdata dan tindak pidana korupsi dan penggelapan.. Oleh karena itu , guna memerangi
kejahatan hukum bisnis “ white collar crimer” tersebut,
maka ke depannya perlu penegakan hukum atau law enforcement” meskipun langit akan
runtuh esok hari, penegakan prinsip-prinsip etika bisnis dan goor corporate
governance dan good governance di Indonesia.
Dan semuanya itu, tergantung dari good
will dan political wil Pemerintah,
pelaku bisnis/ Swasta dan masyarakat
*) Pemerhati
dan praktisi hukum bisnis/Counsellor at busines law/solicitor/peneliti dan
penulis masalah hukum bisnis
“independent/Alumni FHUI (S1), PEMEGANG SERTRIFIKAT DARI LONDON SCHOOL OF
ECONOMIC & POLITICAL SCIENE, LONDON DAN S2 UNPAD, BKU HUKUM BISNIS.
DAFTAR
REFERENSI/LITERATUR
A. Buku-buku.
- Munir Fuadi, Bisnis Kotor –Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
- Romli Atmasasmita, Pengantar hukum kejahatan bisnis, Prenada Media, Jakarta, Juli 2003.
- Tim Humanika, BLBI Megaskandal Ekonomi Indonesia, Humanika, Jakrta , Juli 2001.
- Sonny Keraf, Etika Bisnis –Tuntan Dan Relevansinya, Kanisius, Jakarta, 1998.
- Muhamad Djumhana, Hukum perbankan di Indoenesia, PT Citra Aditya bakti, Bandung 2003.
Erman Rajagukguk, Hukum
Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan nasional, Mendorong
Pertumbuhan Ekonomi
Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial –Makalah,
Seminar Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, BPHN,Depkeh dan HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003
B.Sumber Lain.
1.Koran Kompas, 27
Desember 2004.
1 komentar:
terima kasih
Posting Komentar