OPINI :
SEBUAH STUDI BANDING
HUKUM KONTRAK MENURUT HUKUM INGGRIS DAN INDONESIA
DI
ERA GLOBALISASI PERDAGANGAN BEBAS DAN INEVSTASI ASING
Oleh : M.Rizal Alif, SH. MH*)
Hampir sepertiga umat manusia di dunia ini diatur
hukum yang aslinya, dari negara Inggris. Salah satu produk hukum Inggris
tersebut adalah Bentuk Kontrak Menurut Hukum Inggris atau Formation Contract In English Law (C.F Padfield, ELB, DPA,1988).
Berangkat dari pemikiran
tersebut di dalam mengantisipasi era perdagangan bebas dan investasi asing ( WTO/AFTA/ APEC ), menurut hemat penulis
kita perlu mempelajari/memahami kontrak bisnis
/perdata menurut hukum Inggris sebagai suatu studi perbandingan dengan kontrak menurut hukum warisan kolonialis
Belanda sebagaimana diatur dalam buku ke‑III BW mengenai Hukum Perikatan (R
Subekti, 1989) di dalam rangka reformasi hukum kontrak bisnis/perdata yang lebih sesuai
dengan tuntutan era reformasi hukum ,perdagangan bebas dan investasi asing tersebut.
Misalnya pro dan kontra mengenai aspek hukum Surat Pekerjaan Kerja (SPK) dan Memorandum Of Understanding (MOU)
menurut hukum perikatan Indonesia dan lain‑lain. Agar bangsa kita tidak disebut
Chauvinis yang hanya mementingkan
hukumnya sendiri dan mengabaikan hukum dari negara lain (S Gautama, 1976)
khususnya di dalam masalah transaksi bisnis internasional dengan mitra
dagangnya dari luar negeri yang menerapkan bentuk kontrak berdasarkan Common Law tersebut.
Menurut Hukum Inggris kontrak
adalah cabang dari hukum perdata atau lawan dari hukum publik. Kontrak
merupakan suatu perjanjian yang mengikat para pihak yang membuatnya. Contohnya
A dan B setuju untuk melaksanakan transaksi jual beli sebuah mobil. A sebagai
penjual dan B sebagai pembeli. Pada dasarnya konsensus di dalam kontrak
mengikat para pihak sebagai hukum itu berarti para pihak dilarang melanggar
konsensus/komitmen – breach of commitment
tersebut atau tidak diijinkan salah satu
pihak membatalkan kontrak itu.
Setiap kontrak berdasarkan
atas perjanjian para pihak. Namun tidak setiap perjanjian diantara para pihak
disebut kontrak. Sebab hanya perjanjian yang dapat menunjukkan keinginan para
pihak tentang perjanjian seyogyanya memiliki konsekuensi hukum.
Perjanjian keluarga dimana
seorang suami setuju untuk membayar isterinya sejumlah uang untuk mengelola
rumah tangga bukan merupakan suatu
kontrak menurut hukum Inggris..
Pengertian Kontrak.
Yang dimaksud dengan kontrak
adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory
agreement) di antara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan,
memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. (Black, Henry Campbell, 1968:
39,4). Selanjutnya, ada juga yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai
suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti
rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan
dan kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan.
Kontrak Menurut Hukum Inggris dan perbandingannya dengan hukum kontrak menurut hukum Indonesia.
Syarat‑syarat sahnya kontrak menurut hukum inggris (W.F Frank, 1975):
a).
Para pihak harus memiliki kapasitas hukum untuk membuat kontrak;
b). Salah satu pihak harus membuat
suatu penawaran yang mengikat kepada pihak fain, dan penawaran itu sudah harus
diterima;
c). Kontraknya
harus didukung dengan pertimbangan;
d).
Kontraknya harus dibuat dalam bentuk
khusus.
e). Perjanjian para pihak harus
legal (tidak boleh ilegal);
Kontrak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut
diatas tidak mengikat secara hukum atau "null and void".
Adapun penjelasan dari syarat-syarat kontrak menurut hukum
Inggris tersebut di atas adalah sebagai berikut :
a). Kapasitas
Ada 3 (tiga) tingkatan ketidak
mampuan untuk membuat kontrak menurut hukum Inggris (Philip S James, 1979):
1. Orang
yang belum dewasa (minor).
Peraturan common law menegaskan bahwa kontrak anak‑anak tidak mengikat secara
hukum. Setiap orang dibawah usia 21 tahun yang membuat kontrak adalah tidak sah
secara hukum. Tidak seorangpun seyogyanya diijinkan mensahkan suatu kontrak
yang telah dibuat yang bersangkutan sebelum dewasa (the Infants Relief Act 1874).
2. Koperasi
(Corporations)
3. Orang
gila dan mabuk.
b). Penawaran
dan Penerimaan (Offer dan Acceptance).
Semua perjanjian dapat
dianalisa ke dalam suatu penawaran atau Offer
dan Penerimaan atau Acceptance,
yang dapat dibuat dengan kata‑kata atau tingkah laku. Namun tidak semua
penawaran dan penerimaan akan diijinkan kedalam Perjanjian Hukum. Ada peraturan
hukum yang mengatur keabsahaan Penawaran dan Penerimanaan yang harus kita
pertimbangkan (Philip S James, 1979).
Pertama, Penawaran, suatu penawaran dapat dibuat kepada orang yang khusus
atau masyarakat umum untuk menerimanya. Namun penawaran itu harus
dikomunikasikan kepada penerima sebagai suatu fakta pertanyaan. Di dalam hal
pembatalan, suatu penawaran, tanpa disertai materai dan pertimbangan
diasumsikan dibuka waktu yang beralasan kecuali hal itu tidak diekspresikan
untuk membuka suatu penawaran dalam jangka waktu yang terbatas.
Kedua, Penerimaan, prinsipnya bahwa penerima harus mengetahui penawaran
pada waktu ia menandatangani penerimaan untuk perjanjian. Penerima tidak perlu
menandatanganinya dengan lain kata ia dapat juga menandatanganinya dengan
tingkah laku. Meskipun demikian kepentingan harus mengambil tempat.
Undang‑undang barang dan jasa
tahun 1971 menyatakan bahwa ketika barang‑barang dikirimkan kepada seorang voluntary, mereka dipertimbangkan
sebagai suatu hadiah tanpa syarat kepadanya atas kondisi‑kondisi yang pasti.
c).
Pertimbangan (consideration)
Suatu kontrak yang akan
dilaksanakan di bawah materai, kecuali penggugat dapat menunjukkan telah
disediakan pertimbangan. Pertimbangan atau consideration
adalah salah satu elemen pokok, yang membedakan kontrak mengikat dapat
melaksanakan janji‑janji. Pertimbangan dapat didefinisikan sebagai pertimbangan
yang bernilai dalam hukum dapat berdiri dari hak yang sama.
Pertimbangan harus real, ini ditunjukkan dalam
contoh dibawah ini:
a. Suatu janji untuk mengerjakan sesuatu yang
jelas‑jelas tidak mungkin adalah dengan jelas kurang bernilai;
b. Suatu
janji yang tidak jelas tidak akan melanjutkan pertimbangan.
d).
Formalitas
Tidak ada formalitas khusus
yang diperlukan untuk menciptakan suatu kontrak. Pengecualiannya kontrak‑kontrak
harus dibuat dibawah materai, dengan Akta adalah (Philip S James, 1979):
1. Kontrak hanya sah secara hukum
ketika dibuat dalam suatu bentuk Form khusus:
a. Kontrak
yang dibuat atas badan hukum;
b. Semua property atas tanah atau
setiap kepentingankepentingan atas tanah (subyek kepada Property Acr 1925, Sub
52 (2);
c. Bukti
pembayaran/kwitansi;
d Perjanjian‑perjanjian
kredit.
e).
Illegal
Mengerjakan sesuatu yang
ilegal bukan merupakan suatu tujuan dari kontrak. Contoh kontrak‑kontrak yang
ilegal pada common law adalah kontrakkontrak
untuk melakukan kriminal. Kontrak yang bertentangan dengan kebijaksanaan publik
dan kontrak‑kontrak yang bertentangan dengan peraturan moralitas.
Dari syarat kontrak menurut hukum Inggris di atas, jelas beda dengan syarat
kontrak menurut buku ke-3 KUHPerdata/BW tentang hukum
perikatan. Syarat –syaratnya Sah Kontrak menurut buku ke III KUHPerdata adalah sebagi berikut :
1. Syarat
Sah yang Objektif Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata.
2. Syarat
Sah yang Subjektif Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata.
3. Syarat
Sah yang Urnum di Luar Pasal 1320 KUH Perdata.
4. Syarat
Sah yang Khusus.
Berikut ini penjelasan dari masing‑masing kategori
tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Syarat
Sah yang Objektif Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata
Syarat sah yang objektif atas
suatu kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata adalah terdiri dari:
a. Perihal
tertentu dan
b. Kausa
yang diperbolehkan.
Dengan syarat perihal tertentu
dimaksudkan adalah bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang
tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum.Sedangkan dengan syarat kausa yang
diperbolehkan yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat
dengan maksud atau alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi, tidak boleh
dibuat kontrak untuk melakukan hal‑hal yang bertentangan dengan
hukum.Konsekuensi hukum jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi
adalah bahwa kontrak tersebut tidak sah dan batal demi hukum (null and void).
2. Syarat
Sah yang Subjektif Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata
Ke dalam syarat sah suatu
kontrak yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata termasuk hal‑hal
sebagai berikut:
a. Adanya
kesepakatan kehendak dan
b.
Wenang berbuat.
Dengan syarat kesepakatan
kehendak dimaksudkan adalah bahwa agar suatu kontrak dianggap sah oleh hukum,
kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh
kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan
kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur‑unsur sebagai berikut:
a. Paksaan
(dwang, duress).
b. Penipuan
(bedrog, fraud).
c. Kesilapan
(dwaling, mistake).
Sedangkan syarat wenang
berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang
oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Kewenangan berbuat baru
dianggap sah oleh hukum manakala kontrak dilakukan oleh orang‑orang sebagai
berikut:
a. Orang
yang sudah dewasa.
b. Orang
yang tidak ditempatkan di bawah pengampunan.
c. Wanita
yang bersuami (syarat ini sudah tidak berlaku lagi).
d. Orang yang tidak dilarang oleh
undang‑undang untuk melakukan perbuatan tertentu. Misalnya, antara suami dan
istri tidak boleh melakukan kontrak jual beli. Atau orang yang melakukan
kontrak untuk dan atas nama orang lain, tetapi surat kuasanya tidak sah.
Konsekuensi yuridis dari tidak
dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif ini adalah bahwa kontrak tersebut
"dapat dibatalkan" (voideble,
vemietigebaar) oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan
pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus
dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
Ada beberapa syarat untuk
kontrak yang berlaku umum tetapi diatur di luar Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu
sebagai berikut:
a. Kontrak
harus dilakukan dengan itikad bak
b. Kontrak
tidak boleh bertentangan dengan ke.biasain yang berlaku.
c. Kontrak
harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan.
d. Kontrak
tidak boleh melanggar kepentingan urnum.
Apabila kontrak dilakukan
dengan melanggar salah satu dari 4 (empat) prinsip tersebut, maka konsekuensi
yuridisnya adalah bahwa kontrak yang demikian tidak sah dan batal demi hukum (null and void).
Di samping syarat‑syarat
tersebut di atas, maka suatu kontrak
menurut buku ke-III KUH Perdata,
haruslah memenuhi beberapa syarat khusus yang ditujukan untuk kontrak‑kontrak
khusus. Syarat‑syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut:
a. Syarat
tertulis untuk kontrak‑kontrak tertentu.
b. Syarat
akta notaris untuk kontrak‑kontrak tertentu.
c. Syarat akta pejabat tertentu
(selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu.
Syarat izin dari pejabat yang
berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu
Dari perbedaan hukum
kontrak Inggris dan Indonesia tersebut, menurut penulis seyogya
Pemerintah dan DPR sudah
harus membuat UU tentang Kontrak/perikatan perdata
yang dapat mengakomodir
dinamika perkembangan bisnis di era
globalisasi perdagangan dan investasi
sekarang ini (WTO/AFTA/APEC) dengan
bahan perbandingan kontrak
menurut hukum Inggris, yang
menganut persyaratan sahnya kontrak
antara lain melalui offering dan acceptance tersebut di atas, yang juga
dianut dalam Pasal 2 ayat (1) prinsip-prinsip UINDROIT yang menyatakan :
A contract may be concluded
either by the acceptance of an offer or by the conduct of the parties that is
suficinet to show agreement.
Inti dari
ketentuan di atas adalah bahwa
sebuah kontrak terjadi karena
adanya (1) penawaran dan penerimaan dan
(2) karena prilaku yang menunjukan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.
Dasar dari prinsip-prinsip UNIDROIT ini adalah dengan tercapainya kata
sepakat saja sudah cukup melahirkan kontrak. Namun prinisp-prinsip UNIDRIT tidak mengatur syarat sah kontrak seperti
yang dianut Pasal 1320 BW dan atau hukum
kontrak Inggris di atas seperti a) tidak
memiliki kemampuan/; b) tidak memliki kewenagan /dan c) amoralitas dan
ilegalitas. Sebagimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) prinisp UNIDROIT :
These principles do not deal with invalidity arising from: a) lack of
capacity; b) lack of authority, and c) immorality or ilegality.
Prinisp-prinsip UNIDROIT sangat
penting dalam era globalisasi
perdagangan bebas dan globalisasi ( WTO/AFTA/APEC/MEE) karena telah menjadi acuan reformasi hukum kontrak hampir diseluruh
dunia, seperti Belanda, Jerman, USA, Kanada bahkan Rusia. Hal ini merupakan fenomena tumbuhnya harmonisasi
hukum perdata , teruitama hukum kontrak.Prinsip-prinsip UNIDROIT dan atau
hukum kontrak Inggris ini memuat ketentuan yang baik dan menguntungkan bagi negara berkembang seperti Indonesia kedepannya melalui reformasi hukum
kontrak sebagaimana diatur dalam buku ke-3 BW
karena KUH Perdata/BW dan RUU Perjanjian masih memiliki kekurangan yang
perlu disempurnakan lagi. sesuai tuntuntan
globalisasi transaksi bisnis yang
berkembang dinamis. (WTO/AFTA/APEC/)
Penutup.
Di dalam rangka reformasi hukum kontrak bisnis/perdata yang lebih
sesuai dengan tuntutan era reformasi hukum perdagangan bebas dan investasi
asing (WTO/AFTA/CAFTA/APEC),
maka hukum kontrak menurut hukum
Inggris dapat dijadikan sebagai bahan kajian/ study banding agar bangsa kita tidak disebut Chauvinis yang hanya mementingkan
hukumnya sendiri dan mengabaikan hukum dari negara lain di dalam melaksanakan transaksi –transaksi bisnis internasional dengan mitra dagangnya/investor
asing dari luar negeri..
*).Magister Hukum
Unpad,Bandung/Konsultan Hukum/Advokat
2 komentar:
Dear Pak Rizal Alif,
terimakasih atas informasi yang dipaparkan mengenai perbandingan kontrak dengan hukum indonesia dengan english law
regards
Harry
Terima kasih untuk informasi yang diberikan
Posting Komentar