OPINI
:
Masalah Hukum Kepemilikan Satuan Rumah Susun
Di
dalam Kerangka Hukum Benda Tanah
Oleh
: M. Rizal Alif SH MH*)
- Latar Belakang Permasalahan.
Visi dan misi Presiden Sby
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ( 2004-2009) salah satunya adalah
percepatan pembangunan infrastruktur, ternasuk di dalamnya pembangunan Rumah Susun/Satuan Rumah
Susun/SRS guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya
akan papan yang layak dan dalam lingkungan yang sehat di wilayah perkotaan.
Diperkirakan sekitar 50 % penduduk
Indonesia dalam tahun 2020 akan bertempat tinggal di daerah perkotaan dengan
jumlah kurang lebih sekitar 100-120 juta
jiwa. Sementara lahan di kota –kota
besar semakin langka karena Tuhan tidak pernah menambah lahan kota lagi dan jumlah arus urbanisasi ke kota akan semakin meningkat tajam. Oleh karena
itu, agar tidak menimbulkan “ conflict of
interest” atas kepemilikan satun rumah susun , maka perlu reformasi hukum
pertanahan dan rumah susun.
UUPA (UU No. 5 tahun 1960)
menentukan dalam Pasal 5nya, bahwa hukum agraria nasional ialah
hukum adat. Salah satu asas hukum adat yang merupakan ciri hukum
adat adalah penerapan asas pemisahan horizontal dalam hukum
tanahnya. Dianutnya asas pelekatan vertikal di dalam pembangunan Rumah Susun/SRS
dalam UU No. 16 tahun 1985 (sudah di
cabut dan diganti dengan UU No. 20 tahun
2011 tentang Rumah Susun) dengan sistem kondominium
khususnya tentang aspek Hak Milik Satuan Rumah Susun/HMSRS di dalam kerangka hukum benda tanah sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 8 UURS menyebabkan segala perbuatan hukum terhadap
HMSRS baik secara normatif maupun
empiris menjadi tidak konsisten dengan
semangat asas pemisahan horizontal tersebut.
Hal tersebut di atas dapat
menimbulkan permasalahan terhadap aspek kepemilikan hak atas tanah
pada SRS. HMSRS ditempatkan sebagai
obyek pendaftaran tanah ( land
registered- Certificated )
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah dan dalam prakteknya, perbankan
sulit menerima agunan HMSRS dengan menggunakan konsep strata title. Untuk
mengkaji permasalahan ini, maka Penulis telah melakukan penelitian hukum normatif yang ditunjang oleh penelitian
lapangan..
Hasil penelitian Penulis atas permasalahan tersebut di atas,
mengungkapkan, apabila asas pemisahan
horizontal yang memisahkan tanah dan bangunan diterapkan di dalam bangunan rumah
susun , maka akan menimbulkan
permasalahan bagi pembeli Satuan Rumah Susun/SRS atau unit-unit
dari strata title dari Rumah Susun.
Apakah selain menjadi pemilik dari unit SRS/unit strata title tersebut, ia juga akan menjadi pemilik dari bidang
tanah yang di atasnya dibangun Rumah Susun. Kesangsian calon pembeli unit SRS
menjadi masalah bagi Developer/Pengembang karena dapat mengurangi minat
masyarakat untuk membeli unit SRS.
B. Solusi Permasalahan
Agar aspek kepemilikan hak atas tanah pada SRS tetap konsisten dengan
semangat azas pemisahan horizontal
seperti Pasal; 6 UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (sudah dicabut dan diganti dengan UU No.11 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Pemukiman) , maka UURS harus konsisten dengan Sistem Strata Title seperti
yang di anut negara bagian New South Wales, ,Australia atau Singapura yang
lebih memungkinan adanya pemilikan bersama secara horizontal disamping
pemilikan secara vertical.Dan atau
kembali kepada penerapan asas pelekatan
vertikal (Pasal 571 KUHPerdata) khususnya
untuk wilayah di kota-kota besar yang
tanahnya semakin langka seperti Ibu Kota Negara, Jakarta yang diperkirakan pada
tahun 2013 akan kesulitan mencari lahan untuk membangun perumahan landed house
atau vertikal seperti Rumah Susun atau dengan sistem land management/ land
banking/land advance acqusition atau sistem sewa tanpa batas waktu (leasehold).
Dengan
ditempatkannya HMSRS sebagai obyek
pendaftaran tanah menyebabkan SRS menjadi tidak jelas pemilikan atas tanahnya,
sehingga dapat menimbulkan sengketa atau conflict of interest dari para
pemilik SRS.
Kedepan perlu adanya pemisahan
sertifikat tanah dan bangunan SRS termasuk PBBnya dalam pembangunan Rumah Susun
dengan konsep strata title seperti di Negara bagian Australia dan Singapura
tersebut di atas. Namun dalam prakteknya
di perbankan sulit untuk menerima agunan HMSRS dengan
konsep strata title tersebut , karena belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya sehingga beresiko bagi pihak Bank/Kreditur. Denga
demkian kedepannya, perlu ada reformasi
peraturan perundang-undangan HMSRS dengan menggunakan konsep strata
title dengan didahului dengan
reformasi ndang-undang Pertanahan (UUPA) sebagai induknya khususnya di dalam rangka lebih menjamin
kepastian hukum para pelaku bisnis/investor / pemangku kepentingan atau stake
holder disektor pengembangan lahan, property/ real estate di Indonesia
di era otonomi daerah dan globalisasi perdagangan dan investasi asing
yang terjadi sekarang ini..
c. Penutup.
Dari urain tersebut di atas, maka kedepan konsep asas pemisahan horizontal akan banyak
memecahkan dan atau mencegah timbulnya masalah “ conflict of interest” dan perselisihan hukum antara para pemilik SRS /
unit-unit strata title dari Rumah Susun.
*) KonsultanHukum/Solicitor of Busines Law/Alumnus FHUI tahun 1987 & FH-UNPAD. 2003./Peneliti Pengembangan
Hukum Bisnis.
0 komentar:
Posting Komentar